Fusilatnews – Kasus pelarangan kendaraan berplat nomor Aceh melintas di wilayah Sumatera Utara adalah contoh nyata bagaimana sebuah kebijakan yang lahir dari kepala sempit bisa berubah menjadi blunder politik. Ibarat nasi yang sudah telanjur jadi bubur, langkah Pemprov Sumut bukan hanya mencederai rasa persaudaraan antarwilayah, tetapi juga membuka tabir tentang kualitas kepemimpinan Penjabat Gubernur, Bobby Nasution.
Dalam negara kesatuan, tidak ada ruang bagi diskriminasi administratif antardaerah. Plat nomor adalah identitas resmi yang sah diakui negara. Ketika Bobby, sebagai pemegang mandat pemerintahan daerah, tak mampu memahami prinsip sederhana ini, yang terlihat justru kedangkalan wawasan kebangsaan. Di sini, nama Bobby Nasution bukan hanya terbaca, tetapi juga terbuka: jalan pikiran yang sempit dan tidak layak untuk seorang pemimpin daerah.
Permintaan maaf yang belakangan disampaikan memang penting. Tetapi permintaan maaf tak menghapus fakta bahwa kebijakan tolol itu lahir dari ruang kerja seorang gubernur. Permintaan maaf hanya mengonfirmasi: ada keputusan yang tidak pantas, ada pemimpin yang tidak becus membaca arti bernegara.
Kepemimpinan daerah mestinya berdiri di atas fondasi pemahaman konstitusi, bukan pada ego sektoral atau kalkulasi sempit. Sayangnya, apa yang terjadi di Sumut justru mencerminkan kelas ketololan seorang pejabat: kebijakan yang memecah belah, alih-alih menyatukan; kebijakan yang memicu luka, alih-alih menumbuhkan kepercayaan.
Dari sini kita belajar, jabatan bukanlah ukuran kebesaran wawasan. Seseorang bisa menduduki kursi gubernur, tetapi pikirannya masih terperangkap dalam lorong gelap yang dangkal. Bobby Nasution dengan kebijakan plat nomor Aceh ini telah membuktikan satu hal: ia gagal memahami arti sederhana dari negara kesatuan, dan dari situ, kelas kepemimpinannya hanya layak disebut sebagai kelas ketololan.
Permintaan maaf Bobby Nasution mungkin menutup polemik plat nomor Aceh di Sumut, tetapi ia tidak menutup borok besar yang tersingkap dari peristiwa ini: rapuhnya kualitas kepemimpinan yang lahir bukan dari integritas dan kapasitas, melainkan dari garis keturunan dan jejaring politik kekuasaan. Nepotisme telah melahirkan pejabat yang tak paham makna bernegara, namun tetap diberi ruang untuk memegang jabatan strategis.
Ketika seorang gubernur—yang juga menantu presiden—gagal memahami arti sederhana dari persatuan dalam negara kesatuan, maka sesungguhnya yang dipertaruhkan bukan hanya martabat Sumut atau Aceh, tetapi martabat republik secara keseluruhan. Kesalahan kebijakan ini adalah cermin dari era Jokowi yang membiarkan kualitas kepemimpinan merosot, digantikan oleh loyalitas keluarga dan kepentingan politik jangka pendek.
Di titik inilah, “minta maaf” menjadi tidak cukup. Sebab persoalan yang kita hadapi bukan sekadar soal salah kebijakan, melainkan soal salah urus dalam membangun negara. Dan ketika negeri ini dipimpin oleh orang-orang dengan kelas ketololan, maka permintaan maaf hanya akan terus berulang, sementara luka kebangsaan makin dalam.























