Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Dalam politik, sering kali yang paling nyaring bukanlah kata-kata, melainkan gestur. Sebuah jabatan tangan bisa mencairkan ketegangan, sebuah senyum bisa menyembunyikan konflik, dan sebaliknya, absennya sebuah salaman dapat mengirim pesan yang lebih keras daripada pidato panjang. Itulah yang terekam dalam satu pertemuan penting: Presiden Prabowo Subianto tidak menyalami Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Sekilas, hal ini bisa dianggap sepele. Presiden mungkin terburu-buru, atau sekadar kelalaian teknis. Namun, dalam tradisi politik Indonesia, setiap gerak tubuh seorang presiden adalah bahasa simbolik yang penuh makna. Tidak menyalami seorang pejabat tinggi negara, apalagi Kapolri, bisa ditafsirkan sebagai bentuk jarak, teguran halus, bahkan sinyal bahwa hubungan keduanya sedang berada di titik rawan.
Gestur ini muncul di tengah sorotan publik terhadap posisi Kapolri. Banyak pihak menilai Jenderal Sigit sulit mempertahankan jabatan. Ada beberapa alasan utama yang membuat posisinya kian terjepit:
- Kinerja buruk di mata publik. Banyak pekerjaan rumah Polri yang menumpuk dan tak kunjung terselesaikan, dari soal penegakan hukum hingga reformasi internal.
- Tebang pilih dalam melaksanakan tugas dan fungsi. Sikap tidak konsisten ini membuat kepercayaan publik terhadap institusi Polri semakin rapuh.
- Kesetiaan yang dipertanyakan. Ia seolah tidak loyal kepada atasan langsung, yakni Presiden. Sumpah jabatan terkesan diabaikan, karena terlihat lebih patuh kepada eks atasan.
Maka, absennya salaman itu bisa terbaca sebagai penegasan: Presiden sedang memberi jarak. Dalam politik kekuasaan, jarak bukan sekadar ruang kosong, melainkan peringatan bahwa posisi bisa kapan saja digeser.
Di satu sisi, Polri butuh figur Kapolri yang tidak hanya mampu mengelola keamanan, tapi juga menjaga kepercayaan publik serta menunjukkan kesetiaan penuh pada Presiden sebagai panglima tertinggi institusi negara. Di sisi lain, seorang presiden membutuhkan bawahan yang tak sekadar formal loyal, melainkan benar-benar menjadi perpanjangan tangan kebijakan politik hukum pemerintah.
Jika gestur ini bukan kebetulan, maka pesan yang disampaikan Presiden Prabowo cukup jelas: sudah saatnya ada penyegaran di tubuh Polri. Dan sejarah politik Indonesia menunjukkan, kadang yang menentukan jatuh-bangunnya pejabat bukanlah laporan panjang, melainkan satu gestur sederhana—seperti absennya sebuah salaman.

Oleh: Damai Hari Lubis





















