Oleh Prihandoyo Kuswanto-Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila.
Pertarungan pemilu sungguh menguras bukan hanya dana tetapi juga tenaga dan sumber daya warga bangsa untuk melaksanakan pemilu .
Stikma Curang TSM yang ditembakan pada penyelenggara pemilu yang terus di didengungkan oleh Guru Besar dan akademisi dan para aktivis yang menjadi pendukung 01 dan 03 sesungguh nya telah melakukan penghinaan secara Tersetruktur Sistemik dan Masif .Bukan nya sebelum pemilu diawali dengan unjuk rasa Guru Besar dan civitas akademik di kampus kampus ,kemudian dalam hari tenang di edarkan Filem Dirty Vote yang isi nya propaganda kecurangan dan sekarang kita melihat dengan mengusung hak Angket DPR padahal tidak ada satupun anggota DPR Yang menyeruh Hak Angket.
Kalau menuduh Kecurangan itu harus nya bukan hanya Bawaslu dan KPU ,tetapi juga penghinaan terhadap petugas KPPS ,yang sudah mati matian menyelenggarakan pemilu bahkan juga ada yang meninggal dunia ,tidak berhenti disitu bukan nya di dalam TPS itu ada pengawasan yang dilakukan oleh Partai politik ,Aktivis pemantau pemilu independen ? Juga ada Polisi dan TNI .
Jadi kalau ada tuduhan pemilu ini terjadi kecurangan yang TSM maka penyelenggara dan pengawasan itulah yang dijadikan tertuduh ?
Pemilu dengan model demokrasi liberal seperti yang sedang berjalan ini tidak lagi mengenal etik ,kalau kita mendengar pidato guru besar ,budayawan dan para elit menuduh tidak ada etik ,sesungguh nya yang menuduh pemilu itu ada kecurangan yang TSM adalah asal ngomong dan tidak etik .mengapa ? Sebab tidak ada penghargaan terhadap partisipasi rakyat yang sudah memilih ,dan tidak ada penghargaan pada penyelenggara pemilu .Justru di tuduh ada kecurangan yang TSM petugas KPPS itu adalah orang orang yang mempunyai kesadaran yang tinggi untuk bangsa nya mau berkorban masih ingatkah pemilu 2019 800 petugas KPPS meninggal dunia .Tidak tahu di tahun ini berapa orang yang meninggal .
Dalam pemilu itu pasti ada kecurangan tetapi harus nya bisa diselesaikan dengan bijaksana ,bukan nya pada waktu itu tim 01,dan 03 sudah menginstruksikan untuk geger di TPS jika ada kecurangan harus selesai di TPS ? Jangan sampai ke MK begitu jargon nya saat itu .
Tetapi kan tidak seksi kalau yang kalah tidak berteriak -teriak telah terjadi kecurangan yang TSM.
Pertanyaan yang harus kita semua jujur ,didalam pemilu setiap pemilih mencoblos di waktu yang sama ,di TPS yang sama,dengan mencoblos ,Capres,DPR RI ,DPD,DPRD I Propinsi ,Dan DPR II Kota Kabupaten .kalau begitu mengapa stikma pemilu curang ditujukan hanya pada Capres,bukan pada Pileg ,dan Pil DPD.?
Yang aneh lagi sekarang sengketa pemilu tidak diselesaikan pada jalan yang sudah dibuat UU pemilu oleh DPR yaitu lewat Bawaslu,dan MK.
Tetapi akan didorong diusulkan untuk Angket tetapi sasaran nya sudah bergeser bukan soal pemilu curang yang TSM tetapi arah nya dengan Angket untuk melengserkan Presiden Jokowidodo .
Inilah model demokrasi Nbelgedes kata sahabat saya Prof Daneil M Rosyid .
Inilah yang terjadi pada bangsa ini para pendiri negeri ini sudah meletakan sistem bernegara yang bermartabat dengan permusyawaratan perwakilan justru diamandemen diganti dengan demokrasi mbelgedes yang menyebabkan pecah bela nya bangsa ini .
Di dalam Sidang II BPUPKI, Panitia Kecil Perancang UUD, setelah mengkaji belasan konstitusi dari negara-negara merdeka dan berpengaruh di dunia, sepertir Konstitusi-konstitusi USA, Inggris, Weimar (Nama sebelum menjadi Jerman), Jermania, Perancis, Belanda, Cekoslovakia, Jepang, Philipina, Uni Sovyet, Burma, dan lain-lain, BPUPKI kemudian lebih memilih sistem sendiri dalam ketata-negaraannya. Yang dikenal oleh dunia pada saat itu adalah sistem presidensial (USA) dan sistem parlementer (Inggris).
Sistem presidensial ala USA, ditolak. Sistem parlementer ala Inggris juga ditolak. Panitia Kecil Perancang UUD kemudian menciptakan apa yang kemudian disebut dengan Sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR ini dirancang sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia.
Sistem MPR ini diyakini merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat itu sendiri, bukan kedaulatan individu. Kedaulatan rakyat di dalam keanekaragaman rakyat Indonesia yang berbhinnekatunggal Ika baik dalam suku, agama, ras, golongan adat istiadat maupun bahasa.
Di dalam MPR ini lah seluruh rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya berkumpul atau dikumpulkan (collecting) untuk melakukan permusyawaratan guna merumuskan haluan negara (GBHN), memilih dan meminta pertanggungjawaban presiden/wakil presiden,serta membuat dan merubah Undang-undang Dasar.
Kedaulatan rakyat (bukan kedaulatan individu) adalah kedaulatan rakyat dalam pengertian jamak, bukan individu. Sesuai dengan sifat sosial dari masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok, maka dengan keterwakilan dari kelompok-kelompok, golongan-golongan itulah rakyat terwakili kedaulatannya di dalam lembaga MPR.
Karena itulah MPR di dalam ketatanegaraan Negara Republik Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara.
Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR tidak bersidang setiap saat atau setiap tahun, tetapi sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. Ini harus dipahami mengingat MPR sebenarnya bukanlah lembaga politik, seperti Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan Mahkamah Agung (yudikatif), melainkan lembaga yang menjadi sumber dari kekuasaan dan kedaulatan bagi lembaga-lembaga di bawah MPR (representasi kedaulatan rakyat).
Lembaga-lembaga di bawah MPR adalah lembaga-lembaga tinggi negara yang bekerja setiap hari dan setiap saat sesuai dengan haluan negara yang telah ditentukan dan diamanahkan kepada lembaga-lembaga negara tersebut.
Sebagai lembaga yang menjadi perwujudan seluruh rakyat Indonesia, MPR disusun dengan keanggotaan terdiri dari Anggota DPR, Utusan-utusan Daerah, dan Utusan-utusan Golongan. Oleh karena itu, Anggota MPR akan menjadi sangat besar, sehingga MPR tidak perlu bersidang setiap saat. MPR bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.
Oleh karena itu, menjadi menarik mencermati penggunaan istilah “Utusan-utusan” dalam susunan MPR. Utusan-utusan ini maksudnya adalah bahwa ‘utusan-utusan’ tersebut datang ke Jakarta hanya ketika bersidang setiap sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun sesuai dengan ketentuan UUD, atau ketika situasi dalam kondisi tertentu sehingga Pimpinan MPR memanggil anggota MPR untuk bersidang.
Jadi, setelah Sidang 5 tahunan itu selesai, utusan-utusan daerah dan utusan-utusan golongan ini kembali ke tempat masing-masing. Setelah itu adalah menjadi kewajiban dari lembaga-lembaga tinggi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan mengacu kepada Garis-garis Besar Haluan Negara yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Sidang MPR.
Sebagai lembaga yang menjadi perwujudan seluruh rakyat Indonesia, MPR disusun dengan keanggotaan terdiri dari Anggota DPR, Utusan-utusan Daerah, dan Utusan-utusan Golongan. Oleh karena itu, Anggota MPR akan menjadi sangat besar, sehingga MPR tidak perlu bersidang setiap saat. MPR bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.
Oleh karena itu, menjadi menarik mencermati penggunaan istilah “Utusan-utusan” dalam susunan MPR. Utusan-utusan ini maksudnya adalah bahwa ‘utusan-utusan’ tersebut datang ke Jakarta hanya ketika bersidang setiap sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun sesuai dengan ketentuan UUD, atau ketika situasi dalam kondisi tertentu sehingga Pimpinan MPR memanggil anggota MPR untuk bersidang.
Jadi, setelah Sidang 5 tahunan itu selesai, utusan-utusan daerah dan utusan-utusan golongan ini kembali ke tempat masing-masing. Setelah itu adalah menjadi kewajiban dari lembaga-lembaga tinggi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan mengacu kepada Garis-garis Besar Haluan Negara yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Sidang MPR.
Sistem MPR sebagai Sistem Sendiri, sebagai bentuk kreatif dari founding fathers dalam merancang bangunan ketatanegaraan Negara Republik Indonesia.
Dengan memahami hal ini, maka ketika UUD Pasal 1 ayat 2, yang semula berbunyi, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” diamandemen sehingga bunyinya menjadi, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, maka saat itulah bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah runtuh.
Dalam sistem presidensial seperti sekarang ini (versi UUD 2002) kedaulatan rakyat menjadi kabur. Kedaulatan rakyat dalam sistem presidensial (versi UUD 2002) telah diterjemahkan menjadi kedaulatan individu (dengan memilih langsung presiden dan kepala daerah). Kedaulatan rakyat dikaburkan menjadi pemilihan langsung presiden dan kepala daerah.
Sementara itu, dalam sistem presidensial ini, presiden pada dasarnya menjalankan politiknya sendiri, bukan menjalankan politik rakyat.
Dalam sistem MPR (versi UUD 1945 Naskah Asli) kehendak rakyat yang sebenarnya, melalui wakil-wakilnya, kemudian dimusyawarahkan sehingga menjadi ‘politik rakyat’ dalam bentuk haluan negara (GBHN) yang harus dijalankan oleh mandataris (presiden yang dipilih oleh MPR).
,Jadi dalam sistem MPR ini, Presiden seharusnya tidak boleh menjalankan politiknya sendiri, melainkan harus menjalankan politik rakyat yang tertuang di dalam GBHN. Dengan sistem seperti ini, maka MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden selaku mandataris MPR jika diketahui Presiden telah melanggar atau menyimpang dari GBHN.Presiden bisa di turunkan
DPR dengan sistem ini pun memiliki standar parameter dalam melakukan pengawasan (controlling) terhadap pelaksanaan GBHN oleh Presiden.
Dengan penjelasan diatas harus nya MPR menjadi yang terdepan untuk kembali pada UUD 1945. Jika kita semua ingin menyelamatkan masa depan Bangsa Indonesia.