Oleh: Karyudi Sutajah Putra

Jakarta, Fusilatnews – Bansos (bansos) memang identik dengan masalah. Bahkan gegara bansos, dua menteri kini ibarat “adu jotos”.
Dua menteri itu adalah Menteri Sosial Tri Rismaharini dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa.
Gegaranya, Suharso mengkritik pembagian bansos yang tak tepat sasaran, bahkan angkanya mencapai 46 persen.
Terjadinya bansos salah sasaran itu akibat adanya “exclusion error” dan “inclusion error”. “Exclusion error” adalah kesalahan data karena tak memasukkan rumah tangga miskin yang seharusnya masuk ke dalam data, sedangkan “inclusion error” memasukkan rumah tangga yang tak miskin ke data.
Malah, kata Suharso, ada pejabat Eselon I di kementeriannya yang tercatat sebagai penerima bansos.
Risma pun meradang. Melalui anak buahnya, Staf Khusus Menteri Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Program Kementerian Sosial (Kemensos) Suhadi Lili, ia meminta Suharso untuk “menunjuk hidung” anak buahnya yang menerima bansos itu.
Anak buah Risma lainnya, Kepala Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kemensos Agus Zainal Arifin berdalih, tudingan 46 persen bansos tak tepat sasaran hanya soal beda sumber data saja.
Agus menyebut sumber data yang digunakan oleh Kementerian PPN/Bappenas berbeda dengan Kemensos. Bappenas menggunakan sumber data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), sedangkan Kemensos memakai sumber Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Beda sumber data memang bisa menghasilkan persepsi dan fakta yang berbeda. Misalnya sebuah angka bisa disebut enam (6) atau sembilan (9), tergantung dari sudut mana kita memandang.
Akan tetapi, fakta di lapangan tak bisa diabaikan. Banyak pembagian bansos yang tak tepat sasaran, meskipun angkanya mungkin tak sampai 46 persen. Apalagi yang memasok data terkadang bukan pihak yang kompeten dan independen. Sering terjadi yang dimasukkan ke data adalah sanak keluarganya.
“Adu Jotos” antar-Lembaga
“Adu jotos” antar-lembaga atau instansi negara ternyata sudah menjadi fenomena yang lumrah di era reformasi ini. Padahal di era Orde Baru, fenomena semacam itu dianggap tabu, bahkan diharamkan. Ini pertanda bahwa koordinasi antar-lembaga ada masalah. Harusnya menteri koordinator bahkan presiden tidak lengah untuk menertibkan mereka.
Tercatat, sebelum ini “adu jotos” terjadi antara Polri dan Kejaksaan Agung. Baru-baru ini oknum Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri membuntuti Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah. Personel Densus 88 yang mestinya membuntuti teroris justru membuntuti Jampidsus yang sedang mengusut kasus korupsi tambang.
Sebelumnya lagi, aksi “adu jotos” juga terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri yang dikenal dengan istilah “Cicak versus Buaya”, bahkan sampai tiga jilid.
“Adu jotos” juga terjadi antara Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), dan antara MA dan Komisi Yudisial (KY). Juga antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pun, antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berebut kewenangan.
Dan ini yang paling sering terjadi, bahkan adu jotos sungguhan, yakni antara oknum Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pertanyannya, kalau antar-pejabat dan antar-instansi saja saling “adu jotos”, lalu bagaimana dengan nasib rakyat? Ibarat dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah. Rakyat itulah pelanduk di tengah antar-pejabat dan antar-instansi yang sedang bertarung.
Korupsi
Selain salah sasaran, bansos juga rawan korupsi. Senin (10/6/2024) lalu, misalnya, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis bersalah terhadap 6 terdakwa kasus korupsi bantuan sosial beras (BSB) di Kemensos tahun 2020-2021.
Menteri Sosial Juliari Batubara juga terlibat korupsi bansos di masa Covid-19 tahun 2020. Politikus PDI Perjuangan itu kini sudah bebas setelah menjalani hukuman penjara.
Dua mensos lain juga terlibat korupsi dalam kasus lain. Yakni, Bachtiar Chamsyah (2010) dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Idrus Marham (2018) dari Partai Golkar.
Mungkin karena sudah memprediksi di Kemensos akan terjadi banyak korupsi itulah maka Abdurrahman Wahid alias Gus Dur semasa menjabat Presiden RI membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. Kini kedua lembaga itu telah bermatamorfosis dan reinkarnasi.