Belakangan ini, nama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, semakin menjadi sorotan. Bukan hanya karena posisinya sebagai Wapres terpilih, atau keterlibatannya dalam bursa politik nasional, tetapi lebih karena perilakunya yang provokatif di media sosial. Melalui akun pseudonim ‘fufufafa’, Gibran sering kali melontarkan berbagai komentar yang kontroversial, penuh caci maki, dan bersifat menyerang pribadi siapa pun yang dianggap sebagai musuh politik ayahnya.
Akun ‘fufufafa’ ini bukan hanya sekadar platform untuk beropini, melainkan sudah menjadi alat bagi Gibran untuk menyerang secara agresif berbagai pihak. Mulai dari Prabowo Subianto dan keluarganya, yang dikritiknya hingga menyentuh aspek-aspek pribadi dan memalukan, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kini justru menjadi partai pendukungnya. Ketika dulu PKS berdiri di kubu yang berseberangan, Gibran melalui akun ini tidak segan melontarkan hujatan. Ini menunjukkan karakter politik yang sangat reaktif, penuh kebencian, dan tidak memiliki visi yang jelas.
Gibran dan Akun ‘fufufafa’: Refleksi Kebencian dan Ketidakdewasaan
Mengamati aktivitas akun ‘fufufafa’, Gibran lebih terlihat seperti seorang ‘bocil’ politik yang sibuk dengan pertarungan online, bukannya sosok yang mencerminkan pemimpin masa depan. Setiap unggahan di akun tersebut sarat dengan nada sinis, penuh ejekan, dan kadang tak bermutu. Gibran tidak ragu untuk menyerang secara verbal tanpa memedulikan dampaknya terhadap kohesi sosial dan politik. Tidak jarang, unggahannya justru mencerminkan kurangnya kedewasaan dalam berpolitik dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara bijak.
Tak jarang, Gibran menggunakan akun ini untuk membongkar aib lawan politik, mulai dari dugaan korupsi hingga urusan pribadi yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik. Taktik politik seperti ini hanya menunjukkan kurangnya etika dan empati, jauh dari sifat-sifat yang diperlukan dari seorang calon pemimpin bangsa. Tindakan-tindakan ini bukan hanya mencoreng nama baiknya sendiri, tetapi juga mempertanyakan moral dan etika politik yang diusung oleh keluarga presiden.
Minimnya Pengetahuan dan Akhlak yang Dipertanyakan
Gibran, melalui akun ‘fufufafa’, telah menunjukkan karakter yang jauh dari harapan untuk seorang calon pemimpin nasional. Dengan latar belakang pendidikan yang tidak terlalu menonjol, Gibran lebih banyak menggunakan gaya retorika kasar daripada menawarkan solusi konkret untuk permasalahan bangsa. Di saat yang sama, minimnya pengetahuan tentang ketatanegaraan dan politik internasional kerap terlihat dari unggahan-unggahannya yang dangkal dan penuh prasangka.
Sebagai putra presiden, publik tentunya berharap Gibran bisa menjadi figur yang bijaksana dan penuh integritas. Namun, kenyataannya, ia justru lebih memilih untuk menyerang secara serampangan, membongkar aib lawan, dan menampilkan kebencian yang tidak perlu. Sikap dan perilaku ini jelas menunjukkan betapa rendahnya pemahaman Gibran tentang etika politik dan kepemimpinan yang sehat.
Peringatan Bagi Masa Depan Politik Indonesia
Kehadiran Gibran di panggung politik dengan gaya berpolitik melalui akun ‘fufufafa’ ini adalah cerminan dari degradasi kualitas kepemimpinan di Indonesia. Ketidakmampuannya mengendalikan emosi, pilihan kata yang sering kali kasar dan tidak pantas, serta penyerangan pribadi yang melampaui batas hanya menunjukkan bahwa ia masih jauh dari layak menjadi pemimpin yang dapat diandalkan.
Di tengah tantangan yang semakin kompleks bagi Indonesia, sosok seperti Gibran, dengan gaya berpolitik yang penuh kebencian dan dendam, hanya akan menambah beban bagi masyarakat. Kepemimpinan bukanlah tentang siapa yang paling keras berteriak atau siapa yang paling lihai mencaci maki lawan. Kepemimpinan sejati adalah tentang kemampuan merangkul, berdialog, dan menyatukan semua elemen bangsa.
Kesimpulan: Gibran Bukanlah Pemimpin yang Dibutuhkan Bangsa
Gibran Rakabuming mungkin dikenal karena kesetiaannya kepada sang ayah, tetapi cara yang ia tempuh melalui akun ‘fufufafa’ justru menunjukkan sebaliknya: bahwa ia tidak memahami esensi kepemimpinan yang sejati. Ia lebih terlihat sebagai seorang yang mudah terpancing emosi, tidak memiliki ketahanan mental, dan cenderung reaktif.
Indonesia memerlukan pemimpin yang bisa mengangkat bangsa ini, bukan sosok yang memperburuk polarisasi dengan komentar kasar dan serangan pribadi. Dengan segala catatan yang ada, sangat wajar jika publik mempertanyakan kelayakan Gibran untuk mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin di masa depan.