Salah satu dampak yang paling terasa dari warisan ekonomi pemerintahan Jokowi yang dihadapi oleh pemerintahan Prabowo Subianto adalah penurunan daya beli masyarakat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, jutaan masyarakat kelas menengah terpaksa “turun kelas”. Penurunan daya beli ini tidak hanya berimplikasi langsung pada kehidupan sehari-hari rakyat, tetapi juga menciptakan efek domino yang dapat memperburuk kondisi ekonomi nasional secara keseluruhan.
Penurunan daya beli membuat masyarakat semakin berhati-hati dalam pengeluaran mereka, mengurangi konsumsi barang dan jasa. Hal ini berarti sektor usaha, terutama usaha kecil dan menengah, akan mengalami penurunan pendapatan karena permintaan pasar yang lesu. Ketika konsumsi domestik — motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia — melemah, ekonomi nasional menjadi rentan terhadap stagnasi.
Dampak Terhadap Minat Investasi dan Perekonomian
Penurunan daya beli juga berdampak pada menurunnya minat investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ketika masyarakat tidak memiliki daya beli yang kuat, pasar domestik menjadi kurang menarik bagi investor. Sektor-sektor yang sebelumnya dianggap menguntungkan, seperti ritel, properti, dan konsumsi, mengalami stagnasi dan bahkan penurunan. Akibatnya, investor cenderung mencari pasar alternatif yang lebih stabil dan menguntungkan.
Minimnya minat investasi ini menimbulkan masalah baru bagi pemerintah, yang harus berusaha keras menarik investasi untuk menciptakan lapangan kerja dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Ketika investasi menurun, penciptaan lapangan kerja menjadi terbatas, pengangguran meningkat, dan pada akhirnya semakin banyak rakyat yang jatuh ke dalam kemiskinan.
Lingkaran Setan yang Memperburuk Kehidupan Rakyat
Efek dari penurunan daya beli dan rendahnya minat investasi menciptakan lingkaran setan yang semakin mempersulit kehidupan rakyat. Ketika konsumsi menurun, sektor usaha mengurangi produksi, memicu pemutusan hubungan kerja, dan meningkatkan angka pengangguran. Pengangguran yang meningkat pada gilirannya mengurangi pendapatan rumah tangga, memperburuk daya beli, dan kembali mengurangi konsumsi. Siklus ini terus berulang, menyebabkan ekonomi terperangkap dalam stagnasi yang berkepanjangan.
Situasi ini diperparah oleh kebijakan fiskal pemerintah yang terbatas akibat beban utang yang besar. Untuk menutupi defisit anggaran dan memenuhi pembayaran utang, pemerintah kemungkinan harus meningkatkan pajak atau mengurangi belanja publik, yang keduanya akan semakin membebani rakyat. Pajak yang lebih tinggi mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh masyarakat, sementara pengurangan belanja publik berdampak pada penurunan kualitas layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Kesimpulan: Tantangan Berat bagi Pemerintahan Baru
Pemerintahan Prabowo menghadapi tantangan berat dalam upaya memulihkan kondisi ekonomi rakyat yang semakin terpuruk. Penurunan daya beli yang disertai dengan menurunnya minat investasi telah menciptakan dinamika ekonomi yang merugikan rakyat secara luas. Untuk menghindari krisis yang lebih dalam, pemerintahan baru harus segera mengambil langkah-langkah strategis yang tepat.
Pemerintah perlu fokus pada upaya meningkatkan daya beli masyarakat melalui kebijakan fiskal yang berpihak pada rakyat, menciptakan iklim investasi yang kondusif, dan memberantas korupsi yang menggerogoti anggaran negara. Tanpa upaya yang sungguh-sungguh, kondisi ekonomi yang lemah ini akan terus memburuk dan rakyat akan terus menanggung beban dari kebijakan-kebijakan yang tidak efektif. Hanya dengan kebijakan yang tepat dan berpihak pada rakyat, pemerintahan Prabowo dapat membalikkan keadaan dan membawa Indonesia menuju kemakmuran yang lebih merata.