Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta – Entah siapa yang pertama kali mengasumsikan hakim sebagai wakil Tuhan di muka Bumi ini. Padahal tak ada satu pun undang-undang atau peraturan yang menyatakan demikian.
Asumsi itu mungkin berakar dari Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa setiap putusan hakim harus mencantumkan “irah-irah” atau semacam judul atau “lead”, “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
“Irah-irah” ini menggarisbawahi bahwa tanggung jawab hakim tidak hanya terbatas pada hukum dan masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu, hakim diberi gelar “Yang Mulia” atau “officium nobile”.
Namun kini asumsi hakim sebagai wakil Tuhan di muka Bumi gugur sudah. Bahkan sudah sejak lama.
Teranyar, tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur, ditangkap terkait kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tanur (31), terdakwa kasus pembunuhan kekasihnya, Dini Sera Afrianti.
Ketiga hakim itu adalah Heru Hanindyo, Erintuah Damanik dan Mangapul. Bersama penangkapan ketiganya, Rabu (23/10/2024), Kejaksaan Agung juga menyita uang tunai sekitar Rp 20 miliar. Ketiganya langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Selain tiga hakim, Kejagung juga menangkap Lisa Rahmat, pengacara Ronald Tanur dan menetapkannya sebagai tersangka serta langsung menahannya. Pihak Kejagung membuka kemungkinan Ronald Tanur dan keluarganya menjadi tersangka kasus suap ini.
Ini adalah bukan yang pertama hakim yang diasumsikan sebagai wakil Tuhan di muka Bumi ditangkap karena korupsi.
Data Mahkamah Agung (MA), sepanjang 2010-2022 sedikitnya 21 hakim menjadi tersangka suap perkara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itu belum termasuk tahun 2023-2024.
Bahkan, kasus suap hakim juga melibatkan hakim agung MA. Sudradjad Dimyati dan Gazalba Saleh adalah contohnya.
Melawan Akal Sehat
Sebenarnya aroma suap sudah tercium sejak PN Surabaya memvonis bebas Ronald Tanur yang merupakan anak dari bekas anggota DPR RI. Sebab putusan tersebut melawan akal sehat.
Kini, usai penangkapan tiga hakim PN Surabaya, mestinya Kejagung dan KPK mencermati lagi perkara-perkara lain yang terdakwanya dibebaskan. Termasuk perkara konglomerat Surya Darmadi yang belum lama ini memantik kontroversi.
Perkara apa pun, jika putusannya melawan akal sehat, misalnya vonis ringan atau bahkan bebas, patut dicurigai terjadi suap.
Ihwal independensi hakim, itu normatif belaka. Seperti asas praduga tak bersalah atau “presumption of innocent” yang secara normatif harus diberlakukan kepada setiap tersangka atau terdakwa.
Praktiknya, hakim pun manusia biasa yang punya nafsu akan harta, takhta dan wanita. Hakim tak benar-benar bisa independen. Hakim tak bisa benar-benar berpegang pada hati nuraninya. Hakim bisa diintervensi. Terutama dengan suap.
Pelajaran lainnya, ternyata banyak kasus suap hakim yang melibatkan pengacara. Termasuk kasus suap tiga hakim perkara Ronald Tanur dan dua hakim agung MA itu.
Artinya, banyak pengacara di Indonesia yang dalam praktik membela klien tidak semata-mata demi menegakkan kebenaran dan keadilan, supaya hak-hak tersangka atau terdakwa dipenuhi secara proporsional, misalnya, tetapi untuk membebaskan tersangka atau terdakwa supaya dapat “success fee”. Bagaimana pun caranya.
Di samping itu, dalam membela klien, para pengacara di Indonesia juga masih banyak yang tidak mengandalkan dalil-dalil hukum, tetapi mengandalkan lobi kepada hakim melalui suap. Itulah!