Fusilatnews – Publik menunggu. Netizen menanti dengan penuh harap. Konferensi pers Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara (31/8) yang menghadirkan para ketua umum partai politik dan pimpinan lembaga negara dipandang sebagai momentum besar. Semua mata menatap layar, telinga menajam, jari-jari siap mengetik komentar: inilah saatnya Presiden bicara lantang soal reshuffle kabinet dan pergantian Kapolri.
Tapi, kalimat itu tidak pernah terucap.
Prabowo berbicara tentang persatuan, tentang gotong royong, tentang penegakan hukum, dan tentang pentingnya menyampaikan aspirasi dengan damai. Semua poin itu penting, tak bisa dipungkiri. Namun, bagi banyak netizen, yang paling ditunggu-tunggu justru hilang dari pidato: sebuah langkah konkret untuk merombak wajah kabinet yang dianggap lamban, dan mengganti pucuk kepolisian yang sering menjadi sorotan publik.
Kekecewaan pun menyeruak di media sosial. “Apa gunanya bicara soal ketegasan hukum kalau Kapolri yang bermasalah masih dipertahankan?” tulis seorang pengguna X. Yang lain menambahkan, “Reshuffle itu bukan hanya keinginan, tapi kebutuhan. Presiden punya kewenangan penuh, mengapa tidak digunakan?”
Dalam kacamata publik, reshuffle bukan sekadar formalitas politik. Ia adalah simbol keberanian. Pergantian Kapolri bukan sekadar teknis, tapi penegasan arah baru: bahwa hukum harus tegak tanpa pandang bulu, dan kepolisian mesti benar-benar menjadi pelindung masyarakat, bukan alat kekuasaan.
Ironisnya, Prabowo sendiri memiliki kewenangan penuh untuk melakukannya. Tidak ada yang bisa menghalangi seorang presiden dalam hal menunjuk atau mengganti pembantunya, termasuk Kapolri. Tetapi alih-alih menenangkan kegelisahan rakyat dengan keputusan tegas, pidato itu hanya berhenti pada ajakan damai, seakan melupakan denyut keresahan yang terus mendesak dari bawah.
Di titik inilah jurang antara harapan rakyat dan narasi kekuasaan tampak begitu lebar. Netizen bukan tidak menghargai imbauan persatuan, tetapi mereka menuntut bukti nyata bahwa pemerintah berani melakukan pembenahan dari dalam. Persatuan tanpa keberanian politik hanyalah retorika kosong.
Banyak yang berharap, pidato ini hanyalah awal. Bahwa di balik kata-kata yang tenang, Presiden sedang menyiapkan langkah-langkah besar yang akan diumumkan dalam waktu dekat. Karena bila tidak, kekecewaan publik akan terus membesar, dan kepercayaan bisa makin tergerus.
Netizen hanya ingin satu hal: konsistensi. Jika Presiden menyerukan penegakan hukum, maka ia harus memastikan aparat tertinggi hukum bersih dan layak. Jika Presiden bicara soal keberpihakan pada rakyat kecil, maka ia harus menunjukkan keberanian untuk menyingkirkan pembantu yang justru membebani.
Reshuffle kabinet dan pergantian Kapolri memang bukan segalanya. Tapi tanpa itu, kata-kata yang diucapkan dalam konferensi pers kemarin akan terasa seperti pidato yang melewati inti persoalan. Publik menunggu keputusan, bukan sekadar ajakan.
Harapan itu belum padam. Tapi setiap kali Presiden menunda, api kecil itu bisa berubah jadi bara kekecewaan.























