Oleh: Damai Hari Lubis
Penjarahan sering kali dianggap tindakan brutal, liar, bahkan kriminal. Namun, jika ditilik dari sisi subjektif masyarakat yang lapar, miskin, dan terdesak, penjarahan justru tampak logis. Mereka tahu, para anggota legislatif dan pejabat publik, yang seharusnya menjadi teladan, selama ini tanpa malu menjarah uang negara. Bedanya, pejabat menjarah dengan jas rapi, rapat resmi, dan aturan yang dimanipulasi. Rakyat menjarah karena perut kosong.
Jika penjarahan negara oleh pejabat terus berlangsung, sementara hukum tak lagi tegak dan keadilan hanya menjadi slogan, maka cepat atau lambat rakyat akan mengambil jalan pintas. Saat keluarga miskin terus menjerit, sementara tanah-tanah kosong milik pejabat dibiarkan terbengkalai belasan tahun hanya demi investasi, bukan tidak mungkin rakyat akan mulai mengkavling tanah tersebut, bahkan menduduki rumah-rumah mewah yang tak berpenghuni. Dari perspektif rakyat, itu bukan kejahatan—melainkan sekadar mengambil kembali apa yang selama ini telah dirampas dari mereka.
Konstitusi jelas menyebut bahwa sandang, pangan, dan papan adalah tanggung jawab negara. Namun, para pengelola negara justru mengabaikan amanah itu. Mereka membiarkan rakyat terhimpit kenestapaan, sementara mereka sendiri hidup dalam pesta kemewahan: restoran mahal, pesta glamor, dan tumpukan harta yang tak pernah habis. Jurang sosial ini ibarat bom waktu. Semakin rakyat dipaksa hanya mampu menelan ludah, semakin besar pula bara dendam yang menunggu kesempatan meledak.
Pada akhirnya, para penguasa menghadapi dua pilihan: membuka “kotak pandora” berupa amarah rakyat yang tak terbendung, atau menyiapkan “peti mati” untuk warisan kehancuran bangsa ini bagi anak cucu mereka. Sejarah selalu berulang: ketika kekuasaan menutup mata dari jeritan rakyat, keadilan akan mencari jalannya sendiri—kadang lewat cara yang tak pernah diinginkan.

Oleh: Damai Hari Lubis





















