Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Setelah mencermati dinamika politik (kekuasaan) dalam lima tahun terakhir, termasuk pada pemerintahan seumur jagung Presiden Prabowo Subianto, apakah demokrasi Indonesia memiliki masa depan, dan bagaimana kekuatan politik “tersisa” seharusnya merawat harapan akan demokrasi dan demokratisasi, masa depan demokrasi Indonesia akan buram.
Demikian Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi di Jakarta, Selasa (21/1/2025).
Ia lalu merujuk tulisan Budiman Tanuredjo bertajuk, “Pemerintahan Bayangan dan Masa Depan Demokrasi” di sebuah media, 4 Januari lalu yang menganalisis kemungkinan masa depan demokrasi Indonesia yang buram, karena demokrasi hanya akan menjadi obyek pengelolaan manajemen elit dalam “incorporated democracy”. “Akibatnya, demokrasi akan kian jauh dari rakyat,” jelasnya.
Dalam artikel ringkas yang dimuat sebuah media bertajuk “Menghindari Jebakan Vetokrasi”, Hendardi sebelumnya menekankan bahwa salah satu potensi patogen yang mencolok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dalam lima tahun terakhir adalah vetokrasi.
Menyitir Fukuyama (2018), Hendardi berpendapat vetokrasi adalah kemampuan kelompok kepentingan untuk memblokir tindakan kolektif warga. “Aspirasi kolektif rakyat bisa diveto oleh hanya sekelompok orang. Vetokrasi tersebut kini hadir dalam praktik legislasi di DPR yang ugal-ugalan, merontokkan penegakan hukum sebagai ikhtiar mewujudkan keadilan, meruntuhkan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK), serta memberikan keistimewaan dan pengutamaan (privilege) bagi segelintir warga ultrakaya di atas kebanyakan warga negara lainnya,” paparnya.
Ilegalitas Negara
Menurut Hendardi, menjelang setahun setelah Pemilu 2024 dan sebulan setelah pelantikan Presiden hasil Pemilu 2024, “pemerintahan bayangan” dan vetokrasi terus bekerja dalam hiruk pikuk pembentukan kabinet pemerintahan supergemuk, drama-drama pemberantasan korupsi, dan proyek-proyek pembangunan negara, utamanya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang meminggirkan warga negara yang lemah lagi rentan.
“Kelakuan entitas ‘supra negara’ tersebut menegaskan fenomena politik yang disebut state illegalities (Aspinall dan van Klinken, 2011). Dalam penyusunan Kabinet Merah Putih (KMP), yang ilegal diakomodasi, minimal dengan utak-atik hukum demi memenuhi hasrat politik. Salah satu yang sangat mencolok, bagaimana regulasi, utamanya UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, dilanggar dan disiasati sedemikian rupa, demi mengangkat seorang Mayor TNI menjadi Sekretaris Kabinet,” sesalnya.
Meskipun Presiden Prabowo mengklarifikasi pernyataannya soal “voor” (kesempatan yang diberikan di awal) untuk koruptor bertobat dan mengembalikan harta yang dikorupsi, kata Hendardi, tidak ada interpretasi logis lain dari pernyataan Prabowo selain dia memberikan peluang untuk mengampuni dan memaafkan koruptor.
“Intensi demikian bertentangan dengan hukum. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 4 pada pokoknya menegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana dan pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi,” terangnya.
Kasus pemagaran laut “secara misterius oleh pihak tak dikenal”, namun diduga kuat berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, dinilai Hendardi semakin menegaskan fenomena ilegalitas dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
“Keberadaan pagar laut tersebut bertentangan dengan hukum. Langkah
untuk melakukan penyegelan atas pagar laut tersebut kini merupakan langkah
absurd,” cetusnya.
Pernyataan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pung Nugroho kepada media, Jumat (10/1/2025), terkait penyegelan tersebut, kata Hendardi, merupakan pernyataan sikap pemerintah yang ambigu dan lemah. Pung menyatakan, “Kami ingin memberikan kesempatan kepada pihak yang bertanggung jawab untuk membongkar sendiri. Namun, jika tidak, kami akan ratakan pagar ini.”
“Tidak logis kalau aparat pemerintah tidak mengetahui siapa yang memasang pagar sepanjang kurang lebih 30,16 kilometer tersebut. Skandal pagar laut patut diduga merupakan kelindan negara dan investasi, yang
melibatkan aparat pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan dunia usaha (privasi),” tukasnya.
“Banyak lagi praktik-praktik ilegalitas yang melibatkan negara melalui aparaturnya. Mereka menjadikan hukum sebagai kendaraan kepentingan ekonomi politik belaka. Jika di dalam sosiologi hukum dikenal doktrin ‘law as a tool of social engineering’, maka aparatur negara tak bertanggung jawab itu mempraktikkan hukum sebagai alat untuk mengorkestrasi rekayasa ekonomi politik demi mengakumulasi aneka keuntungan (rent seeking),” lanjutnya.
Implikasi bagi Demokrasi
Lebih jauh Hendardi berpendapat, implikasi dari banalisasi ilegalitas yang melibatkan negara akan memasifkan praktik legislasi yang menghamba pada kekuasaan politik.
“Fenomena tersebut disebut oleh para scholar autocratic legalism (Corrales 2015, Scheppele,
2018). Legalisme otokratik bahkan lebih berbahaya dari tirani. Tirani lebih mudah dilawan dan dikoreksi karena ketampakannya. Sedangkan legalisme otokratik mengalami penubuhan (embodiment) di dalam demokrasi, namun dengan perilaku antidemokrasi dengan atribut utama penggunaan undang-undang untuk melayani kekuasaan, kepentingan kekuasaan terselundup ke dalam klausul yang tampaknya telah memberdayakan warga negara, serta penyimpangan atau penyalahgunaan hukum dan kesewenang-wenangan.
Ancaman bagi demokrasi tersebut menjadi semakin samar, karena seluruh anasir kontra demokrasi dalam bentuk pemerintahan bayangan, vetokrasi, ilegalitas negara, dan legalisme otokratis itu dilakukan oleh para politisi yang menyelinap ke dalam demokrasi melalui jalan dan saluran demokrasi, khususnya pemilihan umum,” urainya.
Para “serigala politik berbulu domba” itu, kata Hendardi, adalah para demagog musuh terburuk demokrasi.
“Alexander Hamilton, salah satu Bapak Bangsa Amerika Serikat, menyebut demagog sebagai ancaman demokrasi. Dalam The Federalist Papers Hamilton menulis peringatan tentang orang-orang yang dapat menjungkirbalikkan kebebasan dalam Republik. Mereka memulai karir politiknya dengan memberikan
perjamuan yang menjilat rakyat (obsequious court),” ucap Hendardi.
Revolusi dalam demokrasi secara umum, kata Hendardi, disebabkan oleh tak terkontrol dan hilangnya penguasaan diri (intemperance) para demagog.
“Para demagog tidak lahir dari sistem politik lain, mereka bertumbuh dalam demokrasi itu sendiri. Seorang penulis Amerika James F Cooper dalam On Demagogues (1838) menyatakan, demagog secara literal adalah ‘pemimpin rakyat jelata’. Jabatan tertentu bagi seorang demagog dimaksudkan untuk mendahulukan kepentingannya dengan cara memanfatkan ketaatan yang dalam dari sebagian besar rakyat,” tuturnya.
Para demagog sejati, kata Hendardi, memiliki empat ciri.
Pertama, mereka secara terus-menerus menampilkan diri mereka sebagai bagian dari kebanyakan rakyat
(ordinary people), untuk secara basa-basi mengesankan bahwa mereka bukanlah
elit.
Kedua, politik mereka bergantung pada sebuah koneksi yang kuat dan
mendalam (visceral) dengan rakyat yang secara dramatis melambungkan
popularitas politik di tengah rakyat pada umumnya.
Ketiga, mereka memanipulasi
koneksi ini dan memantik kegusaran dan kemarahan rakyat untuk menghasilkan
popularitas demi kepentingan dan ambisi mereka sendiri.
Keempat, mereka mengancam atau seketika merusak aturan main, kode perilaku, dan institusi yang
ada, bahkan hukum.
“Dalam konteks demokrasi Indonesia kini, penulis melihat masih banyak
kekuatan demokratik tersisa pada media, masyarakat sipil, dan perguruan tinggi untuk terus memberikan kritik atas penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam konteks itu, ‘private sectors’ juga mesti berkontribusi secara konstruktif untuk melakukan perbaikan pada ruang politik bersama (collective political sphere),” ujarnya.
Di sisi lain, masih kata Hendardi, kekuatan demokratik tersisa itu juga dapat secara intensif memanggul kewajiban partai politik yang sering diabaikan yaitu pendidikan
politik.
“Di samping itu, kita tentu boleh berharap pada pemerintahan daerah hasil Pilkada 2024. Dalam tata desentralisasi, mereka dapat melakukan substansiasi demokrasi dengan agenda pembangunan yang berorientasi untuk penikmatan (enjoyment) hak konstitusional warga,” tandasnya.