Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Berbagai tuduhan terhadap Jokowi semakin jelas dan kompleks, terutama dalam kaitannya dengan program Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sejak awal tidak memiliki konsep kejelasan. Program ini kini menjadi sorotan, khususnya terkait dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dugaan tersebut muncul akibat indikasi adanya balas jasa melalui bantuan anggaran pembangunan IKN dari pihak swasta, seperti Aguan dan rekan-rekannya, yang melibatkan Proyek Strategis Nasional (PSN). Selain itu, terdapat indikasi manipulasi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) secara resmi demi memfasilitasi kepentingan tersebut.
Dampak dari semua ini merugikan rakyat dan negara. Dalam pelaksanaannya, proyek PSN diduga melibatkan tindakan kriminal yang sengaja dilakukan, termasuk maladministrasi yang merugikan kepentingan publik. Salah satu pelanggaran serius adalah penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas laut oleh Kepala BPN. Tindakan ini tidak hanya ilegal tetapi juga mengancam kedaulatan negara.
Sebelumnya, Aguan secara tersirat menyampaikan keluhan kepada Tempo, sebuah media nasional, mengenai tekanan untuk mengeluarkan dana demi pembangunan IKN. Aguan merasa “dipaksa” mengeluarkan anggaran dengan harapan mendatangkan investor asing, yang hingga kini tidak kunjung datang. Fakta ini menjadi salah satu elemen penting dalam membangun bukti dugaan tindak pidana, yang meliputi:
- Keluhan masyarakat terkait transaksi ganti rugi atas tanah yang tidak masuk akal;
- Pemagaran laut oleh kelompok tertentu;
- Terbongkarnya 280 sertifikat HGB pada tahun 2023;
- Kesaksian Aguan sebagai saksi korban sekaligus pelaku;
- Kesaksian dari penduduk setempat dan para aktivis;
- Pernyataan Menteri Nusron Wahid yang mendukung temuan ini.
Dengan bukti awal yang cukup, sudah seharusnya Kapolri Listyo Sigit atau Jaksa Agung RI memanggil dan menyelidiki pihak-pihak terkait, termasuk Aguan, Kepala BPN yang menandatangani 280 sertifikat HGB tersebut, serta Jokowi sebagai pihak yang diduga menjadi aktor intelektual dalam kasus ini. Proses hukum harus dilakukan secara adil (due process) dan setara (equal before the law). Jika bukti-bukti menguat, publik berharap aparat penegak hukum segera menangkap dan menahan Jokowi sesuai prosedur yang berlaku di KUHAP.
Namun, jika Kapolri atau Jaksa Agung menunjukkan sikap acuh atau tidak menjalankan kewenangannya secara presisi, Presiden Prabowo Subianto memiliki kewajiban untuk memberhentikan Kapolri dari jabatannya.
Apabila pada akhirnya Jokowi dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus ini—baik terkait “sertifikat laut” maupun dugaan lainnya seperti isu ijazah palsu—diharapkan masyarakat dari berbagai lapisan memberikan dukungan penuh kepada Presiden Prabowo Subianto. Dengan dukungan ini, Prabowo dapat fokus menjalankan program-programnya menuju cita-cita Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.