Segala Sesuatu yang Benar-benar Jahat, Seringkali Dimulai dari Kepolosan
(Mengilustrasikan Pemerintahan Jokowi melalui Lensa Ernest Hemingway)
Ketika Ernest Hemingway menulis bahwa “Segala sesuatu yang benar-benar jahat, seringkali dimulai dari kepolosan,” ia mungkin tidak membayangkan kutipannya akan relevan dengan kepemimpinan seorang presiden di belahan dunia lain. Namun, pernyataan ini seolah menjadi gambaran yang pas untuk membaca perjalanan pemerintahan Joko Widodo, seorang pemimpin yang pernah dielu-elukan sebagai figur sederhana, jujur, dan tulus.
Jokowi, yang memulai karier politiknya dari seorang pengusaha mebel dan kemudian menjadi Wali Kota Solo, tampak seperti simbol harapan. Sosoknya bersahaja, gayanya berbeda dari para elite politik tradisional. Banyak rakyat Indonesia yang terpikat oleh “kepolosan” Jokowi—keinginan kuatnya untuk bekerja nyata, blusukan, dan memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Namun, di balik semua itu, ada nuansa ironis yang akhirnya menonjol seiring waktu: bagaimana kepolosan ini, dengan segala niat baiknya, justru menjadi landasan bagi tindakan-tindakan yang tidak hanya merugikan rakyat tetapi juga mencerminkan sifat-sifat kekuasaan yang jahat.
Kepolosan sebagai Kedok Kekuasaan
Awal kepemimpinan Jokowi diwarnai dengan janji-janji besar yang memukau rakyat. Ia berjanji untuk membangun Indonesia dari pinggiran, memperkuat sektor pertanian, serta memberantas korupsi. Namun, setelah hampir dua periode menjabat, janji-janji itu tak jarang terasa hanya sebagai formalitas politik. Infrastruktur yang dibangun dengan ambisi besar ternyata lebih sering melayani kepentingan modal dan oligarki daripada kebutuhan rakyat kecil.
Kepolosan Jokowi yang tampak pada gaya komunikasinya ternyata juga menjadi kedok yang sempurna untuk melanggengkan praktik-praktik nepotisme, konflik kepentingan, dan akumulasi kekuasaan di lingkaran keluarganya. Dari pemilihan anaknya, Gibran Rakabuming, sebagai Wakil Presiden, hingga posisi strategis yang diraih oleh para sekutu dekatnya, kebijakan Jokowi mulai menunjukkan pola yang tidak lagi sederhana, tetapi penuh perhitungan politis.
“Kepolosan” yang Mengarah pada Otoritarianisme
Ketika rakyat percaya bahwa seorang pemimpin polos dan tidak punya niatan buruk, kontrol terhadap kekuasaan sering kali mengendur. Hal ini membuka celah bagi munculnya otoritarianisme yang terselubung. Di era Jokowi, kebebasan berpendapat mengalami tekanan yang signifikan. Aktivis, akademisi, hingga mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah sering kali diintimidasi atau dikriminalisasi. Semua ini terjadi dalam narasi yang tampaknya “baik”—bahwa pemerintah hanya ingin menjaga stabilitas.
Retorika Jokowi yang terus-menerus menekankan “kerja nyata” tanpa banyak bicara juga menjadi alat untuk menutupi ketidakmampuan pemerintahannya dalam menyelesaikan isu-isu mendasar seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Kebijakan populis seperti pembagian sembako atau bantuan langsung tunai hanya menjadi solusi jangka pendek yang mengabaikan kebutuhan mendesak untuk membangun sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Akhir dari Kepolosan: Transformasi Menjadi Jahat
Seperti yang Hemingway katakan, jahat seringkali berawal dari kepolosan. Ketika seorang pemimpin menggunakan kepolosan sebagai tameng untuk menghindari kritik, ia membuka pintu bagi kejahatan sistematis. Jokowi mungkin tidak pernah secara eksplisit berniat menjadi “jahat,” tetapi kebijakannya yang sering mengabaikan akuntabilitas, transparansi, dan suara rakyat telah menempatkannya pada jalur tersebut.
Jokowi adalah contoh bagaimana “kepolosan” seorang pemimpin bisa menjadi kendaraan untuk melanggengkan praktik-praktik yang tidak etis dan bahkan merugikan bangsa. Narasi awal yang membangun harapan kini berubah menjadi kenyataan pahit yang penuh kekecewaan. Pada akhirnya, Hemingway benar: segala sesuatu yang benar-benar jahat memang seringkali dimulai dari sesuatu yang tampak sederhana, polos, dan tulus.
Penutup
Kisah kepemimpinan Jokowi adalah pelajaran tentang bagaimana rakyat harus berhati-hati terhadap pemimpin yang terlalu polos untuk terlihat nyata. Karena di balik wajah sederhana itu, kekuasaan bisa menyelinap masuk, bertransformasi, dan pada akhirnya menunjukkan wujud aslinya. Kepolosan hanyalah awal; bagaimana kekuasaan digunakanlah yang menentukan apakah sejarah akan mengingatnya sebagai berkah atau kutukan.