OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Hipnotis adalah suatu proses atau teknik yang digunakan untuk mempengaruhi pikiran dan perilaku seseorang dengan cara memasuki alam bawah sadar mereka. Dalam keadaan hipnotis, seseorang menjadi lebih rentan terhadap saran dan dapat mengalami perubahan perilaku, pikiran, dan emosi.
Hipnotis sering digunakan dalam berbagai bidang, seperti: untuk mengobati gangguan mental dan emosional; untuk mengurangi rasa sakit dan stres; untuk mengubah perilaku dan kebiasaan; pertunjukan hipnotis untuk menghibur penonton, dan lain sebagainya.
Namun, perlu diingat bahwa hipnotis harus dilakukan oleh profesional yang terlatih dan berpengalaman untuk menghindari efek negatif. Hipnotis tidak boleh digunakan untuk tujuan yang merugikan atau memanifulatif. Hipnotis juga tidak bisa memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.
Lalu, apa dan kaitannya dengan “hipnotis beras” ? Inilah persoalan yang cukup penting untuk diperbincangkan. Pasalnya, beras sebagai bahan pangan pokok masyarakat, seperti hal yang sangat sulit dipisahkan dari kehidupan manusia. Beras seakan telah menghipnotis masyarakat untuk selalu tergantung kepadanya. Tanpa beras, seperti tidak ada kehidupan.
Lebih jauh lagi, Pemerintah telah memposisikan beras sebagai komoditas politis dan strategis dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Tanah Merdeka ini. Sebagai komoditas politis dan strategis, beras harus selalu tersedia sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat luas. Beras tidak boleh langka, apalagi menghilang dari pasar.
Akibatnya suatu hal yang lumrah, jika tiba-tiba produksi beras anjlok, dikarenakan oleh sesuatu hal, maka dengan cepat Pemerintah menyebutnya sedang berlangsung krisis beras. Beberapa pengamat, malah menyebutnya sebagai “darurat beras”. Inilah yang terjadi di negeri ini, sekitar dua tahun lalu, khususnya di saat Pesta Demokrasi akan digelar.
Pemerintah sadar betul, menghadapi momen penting seperti pemilihan Presiden dan Anggota Legislatif serta Kepala Daerah, beras harus tersedia dengan aman. Namun kita juga tidak mungkin memungkiri, adanya serangan El Nino yang berbarengan dengan terjadinya musim kemarau berkepanjangan, melahirkan masalah serius dalam dunia perberasan di negara kita.
Produksi beras secara nasional, menurun cukup signifikan. Harga beras di pasar melejit cukup tinggi dan enggan untuk kembali ke harga yang wajar. Kemudian, impor beras terjadi dengan angka cukup fantastis. Lebih dari 4 juta ton beras harus didatangkan dari luar negeri. Dan yang lebih memalukan di Kementerian yang bertanggungjawab menggenjot produksi, berlangsung kejahatan kerah putih. Memilukan sekali !
Begitulah gambaran beras di negeri ini. Dibalik kebanggaan, karena bangsa kita pernah meraih predikat sebagai bangsa yang telah mampu menggapai swasembada beras 1984, ternyata muncul pula kerisauan, setelah menyaksikan bangsa ini harus impor beras melebihi angka 4 juta ton, sekiranya nyawa masyarakat tidak ingin terganggu.
Bangsa ini tidak mengharamkan impor beras. Tapi, sebagian pengamat malah menyetakan “tidak seharusnya nangsa kita impor beras, seandainya tata kelola perberasan mampu digarap secara piawai, profesional dan cerdas”. Fantastisnya angka impor beras yang melewati angka 4 juta ton, jelas melebihi angka 10 % dari produksi yang dihasilkan petani di dalam negeri.
Hal ini berarti, syarat FAO terkait dengan swasembada beras bagi negara dan bangsa ini, otomatis gugur sendiri nya. Sebab, FAO masih mentolelir dan masih berhak menyandang predikat swasembada beras, jika impor berasnya tidak melewati angka 3,2 juta ton. Angka 4 juta ton sudah melewati persyaratan FAO soal swasembada beras tersebut. Gugur sudah predikai bangsa yang berswasembada beras.
Tugas berat, kini menjemput Kabinet Merah Putih. Sekalipun Presiden Prabowo ingin mencapai swasembada pangan, namun yang lebih diutamakan adalah perwujudan swasembada beras. Pemerintah harus buktikan, produksi beras bangsa ini melimpah ruah. Selain itu, impor beras, tidak lagi menjadi kebutuhan mendesak dan tidak dijadikan andalan untuk mencukupi kebutuhan beras di dalam negeri.
Tak kalah penting untuk digarap, pelan tapi pasti, ketergantungan masyarakat terhadap beras harus terus ditekan. Masyarakat perlu diragamkan pola makannya. Pemerintah perlu lebih nyata memberi dukungan terhadap pengembangan program diversifikasi pangan dan tidak melakukannya, hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban semata.
Mengkombinasikan sekaligus mengharmonisasikan pendekatan produksi (menggenjot produksi beras setinggi-tingginya) dengan pendekatan konsumsi (mengerem laju konsumsi masyarakat terhadap nasi secara lebih terukur), sudah saatnya dijadikan prioritas utama dalam mewujudkan ketahanan pangan bangsa yang berkualitas.
Lebih serius lagi, penting dicari terobosan cerdas, yang mampu menghentikan hipnotis beras terhadap masyarakat. Kita percaya, suatu waktu masyarakat akan mampu melawan hipnotis beras, sehingga pola makan karbohidratnya akan semakin beragam. Mari kita lihat perkembangannya. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).