Makalah pada Seminar pelantikan anggota Perhimpunan Persahabatan Indonesia China Jawa Barat
Bandung 7 September 2007
Perselisihan dagang antara Indonesia dan China yang sedang berlangsung saat ini, justru akan berakhir dengan peningkatan dagang yang samakin produktif di waktu yang akan datang. Hal ini disebabkan karena masing-masing pihak pada akhirnya akan menyadari bahwa ada beberapa pertimbangan yang tidak bisa nereka abaikan begitu saja, seperti perjalanan perdagangan saat ini, besarnya resources kedua Negara, tingginya pertumbuhan ekonomi dan jumlah pasar atau consumer dikedua Negara yang luar biasa besar. Sementara faktor faktor geografis, historis dan etnisitas, menjadi lem perekat atau “huang xi” dalam perjalanan hubungan dagang bilateral ini.
Keyakinan itu tumbuh seiring dengan beberapa tools diplomasi dagang kedua negara mulai akan dimainkan, seperti rencana kunjungan tim dagang Indonesia yang mewakili institusi perdagangan terkait di tanah air ke Beijing awal September yang akan datang, untuk membicarakan standarisasi foods dan noon foods. Inilah outcome sekaligus solusi perselisihan dagang yang saat ini sedang menghangat. Karena itu kehawatiran akan terjadi perang dagang, sebagaimana yang dinyatakan oleh Wapres Jusuf Kalla, sebenarnya disamping tidak perlu dirisaukan, istilah perang dagang itu sendiri tidak tepat. Situasi memanas dan konflik dagang kedua Negara, bukanlah “Perang”, akan tetapi lebih kepada sense of emosional dan dinamika dagang itu sendiri. Disadari atau tidak para saudagar itu sebenarnya tiap hari ber “Perang”!. Itulah nature of the business. “Kepentingan” masing masing menjadi di atas segalanya. Dalam dunia dagang, kawan bisa jadi lawan, atau sebaliknya. Bahkan yang haram sekalipun tidak mustahil bisa saja kemudian di mudharatkan sehingga hukumnya menjadi boleh. Percayalah arogansi kedua Negara dalam menyikapi larang melarang saat ini, akan segera berkahir, karena itu hanya konflik sesaat saja, sebab pokok persoalannya yaitu hanya untuk memperkuat posisi tawar masing masing negara.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia melarang produk permen asal China beredar di Indonesia. Alasannya, hasil penyelidikan BPOM menunjukan permen produk China itu mengandung formalin dan dianggap berbahaya bagi kesehatan. Sementara, Pemerintah China melarang import makanan laut asal Indonesia karena dituduh mengandung merkuri dan cadmium, logam, serta nitrofpural. Namun demikian dalam suasana seperti sekarang ini, sebenarnya antusias para pelaku dagang kedua Negara masih tetap tinggi. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing misalnya, rata-rata menerima 30-50 permintaan kontak dagang dari pengusaha China yang ingin mencari berbagai produk atau investasi dengan pengusaha Indonesia. Berbagai produk dan jasa yang diminati pengusaha atau investor China berbagai macam ragam, seperti mebel, barang-barang kerajinan, bahan-bahan makanan, hingga bahan-bahan tambang seperti nikel.
Sebenarnya neraca perdagangan Indonesia China masih timpang, dimana Export Indonesia jauh lebih besar. Perdagangan China dan Indonesia selalu defisit bagi China. Berdasarkan laporan Dubes RI di China, dari sudut pandang perdagangan luar negeri China,saat ini Indonesia merupakan negara tujuan ekspor urutan ke-17 dengan nilai 2,66 miliar dollar AS atau 1,03 persen dari total ekspor China yang mencapai nilai 258,21 miliar dollar AS. Indonesia juga menjadi negara asal impor ke-17 bagi China dengan nilai ekspor 3,44 miliar dollar AS atau 1,30 persen dari total impor China yang mencapai nilai 264,95 miliar dollar AS. Potensi perdagangan antara Indonesia dan China masih sangat besar. Berbagai peluang mulai dari industri hingga pariwisata masih belum banyak dioptimalkan oleh kalangan dunia usaha Indonesia. Tapi aksi mogok masih menjadi momok bagi China yang akan berinvestasi di Indonesia. Menteri Perdagangan Mari E Pangestu dalam pertemuan yang diadakan Kamar dagang dan Industri Komite Tiongkok (KIKT) dengan sejumlah pengusaha di kota Nanning, China, mengatakan secara umum nilai perdagangan Indonesia-China masih kecil dibandingkan dengan negara ASEAN lain. Nilai perdagangan antara Indonesia dan China tahun lalu sekitar 10 miliar dollar AS, sementara negara ASEAN seperti Malaysia telah mencapai 20 miliar dollar AS. Saat ini ekspor Indonesia masih didominasi oleh hasil alam seperti gas, karet, pulp, dan crude palm oil (CPO). Untuk itu, potensi lain harus digarap sehingga bisa menjadi produk ekspor ke China, seperti pasir besi dan batu bara.
Dedi Wijaya, yang akan dilantik menjadi ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia China Chapter Jawa Barat awal September ini mengatakan bahwa, “organisasi yang dipimpinnya disamping ingin diarahkan untuk mempererat silaturahmi kedua bangsa ini, juga supaya dapat memelihara iklim dan suasana dagang menjadi lebih kondusif, dan terus menerus melakukan pembelajaran hal-hal yang positif bagi kedua bangsa ini”. Kita banyak salah kaprah atau mungkin tidak faham sama sekali mengenai “China” saat ini. China dalam benak kita, adalah Negara tirai besi berfaham komunisme seperti faham komunisme yang ada dalam benak kita, yaitu yang telah terkontaminasi oleh perisitiwa pertumpahan darah sejarah komunisme di Indonesia tahun 1965. Fakta dilapangan justru berbeda. Kita akan terperangah melihat realitas China saat ini. Hongkong misalnya. Ia dibiarkan tumbuh alami setelah lepas dari koloni Inggris, sehingga kemudian dikenal dengan istilah dua China. Di Shianghai, anda akan terkejut saat mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan besar, terutama yang bergerak dalam bisnis Telekomunkasi, justru milik orang-orang Taiwan. Ini artinya dispute Politik tidak serta merta identik dengan dunia ekonomi dan atau bisa juga sebaliknya. Lebih mengejutkan lagi, bukan tipu muslihat atau sulap, kalau anda bisa mendapat tiga atau empat buah Rolex made in China (tiruan) hanya dalam harga seratus yuan.
Coba kita telaah dari salah satu aspek saja, Penduduk. China memiliki 1.3 Miliar orang dan Indonesia 246 juta orang. Filosfi orang China, peluang dan rezeki itu terbuka ditempat orang banyak. Jadi tentunya, Indonesia seyogyanya lebih menarik, jika dibandignkan dengan Australia yang hanya memiliki 21 juta orang, atau Malaysia dengan 24 juta pendududuknya. Sebaliknya bagi Indonesia, China lebih chalenging karena jumlah penduduk yang besar itu. Tetapi dalam kenyataan ekspor Malaysia ke China lebih besar dua kali lipat dari Indonesia.
Sekilas gambaran tadi member isyarat kepada kita bahwa Komunisme di China, tidak sepeti apa yang ada dalam benak kita. Toh masyarakat Islam di China tetap pesat berkembang, liberalisasi perdagangan dalam negeri tetap berjalan mulus, perkembangaan ekonomi tumbuh secara signifikan, life style orang China tetap fashionable, perkembangan dalam bidang SDM, pemerintah China sangat revolusioner dengan mendorong masyarakatnya belajar di Negara negara maju. Mereka yang mengantongi skill dan gelar akademik, lebih senang pulang ke China ketimbang bekerja di Negara dimana mereka sekolah, karena Pemerintah China memberi insentif dan reward yang tinggi kepada mereka. Produk barangnya dikenal dengan harga yang sangat murah. Bukan hanya produk China yang membanjiri keseluruh pelosok bumi ini tetapi etnis China juga ada dimana-mana, inilah yang disinyalir oleh John Naisbitt, dalam Megatrends, benar adanya. Akan tetapi Rosul Muhammad SAW, 14 abad yang lalu mengatakan; “belajarlah walau hingga ke negeri China”.
Dari sekilas ilustrasi diatas tersebut ada pembelajaran yang baik kita simak, seperti yang sempat saya tanyakan kepada Prof. Huang dari 4 stones Institute Beijing, kenapa China menganut faham Komunisme?, dia menjawab; “ dengan 1.3 milyar penduduknya, maka tidak akan ada China kalau tidak dengan Komunisme”. Selanjutnya kebijakan ideology telah diimplementasikan kedalam berbagai kebijakan politik untuk membangun China dengan baik, sehinga ekonomi berkembang, rakyat semakin sejahtera, korupsi hampir hilang, dan qualitas hidup rakyatnya meningkat, keseriusan semua pihak dalam segala hal, pimpinan Negara yang amanah telah membawa China seperti saat ini.