Ditulis oleh:
Yus Dharman, SH., MM., M.Kn
Advokat / Ketua Dewas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)
Saeculum Obscurum—istilah dalam sejarah yang merujuk pada periode abad ke-10 di Eropa, ketika lembaga kepausan jatuh ke dalam cengkeraman keluarga aristokrat Romawi yang korup, Theophylacti. Masa itu dikenal juga sebagai Pornokrasi atau “Pemerintahan Para Pelacur”, salah satu titik nadir dalam sejarah Eropa.
Pada era itu, legitimasi kepausan bukan lagi ditentukan oleh kesalehan, melainkan rekayasa politik dan patronase keluarga. Wibawa moral runtuh, otoritas spiritual diperdagangkan, dan masyarakat terperangkap dalam stagnasi budaya, ilmu pengetahuan, maupun ekonomi. Sejarawan pun menjuluki masa itu sebagai “zaman gelap” karena kemerosotan moral dan hilangnya martabat institusi gereja.
Kini, cermin sejarah itu memantul di Indonesia.
Kita menyaksikan bagaimana dinasti politik perlahan mencengkeram ruang-ruang eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif. Loyalitas lebih diutamakan ketimbang kompetensi. Figur-figur tertentu yang tidak menduduki jabatan formal justru memiliki pengaruh besar di balik layar kekuasaan.
Institusi penegak hukum—KPK, kepolisian, kejaksaan, pengadilan—dilanda krisis kepercayaan publik. Kasus korupsi, manipulasi hukum, dan politisasi membuat hukum tak lagi menjadi panglima, melainkan alat kekuasaan.
Jika Roma abad ke-10 terjebak dalam perebutan kursi Paus demi legitimasi rohani sekaligus politik, maka Indonesia hari ini berkutat pada politik elektoral dan perebutan sumber daya ekonomi. Sama-sama menunjukkan satu hal: kekuasaan yang terkonsentrasi pada segelintir keluarga atau kelompok kecil akan berujung pada krisis legitimasi, degradasi moral, dan perlawanan rakyat.
Namun, sejarah juga mengajarkan: kegelapan tidak berlangsung selamanya. Saeculum Obscurum di Eropa memicu gerakan reformasi gereja, dari Cluny hingga Otto I. Maka, jika Indonesia kini berada dalam “zaman gelap” versinya sendiri, situasi ini semestinya menjadi pemantik lahirnya reformasi baru—bukan hanya struktural, tapi juga moral.
Refleksinya jelas:
Ketika jabatan publik dikuasai dinasti, moralitas runtuh, dan hukum dipolitisasi, sebuah bangsa akan terjerumus dalam kegelapan. Jalan keluar hanya bisa ditempuh dengan reformasi yang lahir dari kesadaran rakyat untuk menolak feodalisme baru, menuntut akuntabilitas, dan mengembalikan martabat hukum.
Indonesia harus belajar dari sejarah Eropa: gelap hanya bisa dikalahkan dengan cahaya.
Ditulis oleh:





















