Fusilatnews – Pilpres terakhir membuktikan bagaimana kontestasi politik bergeser dari ruang debat serius menjadi tontonan instan di media sosial. Generasi X-akhir, Y, dan Z dijadikan target utama, dengan suguhan video pendek yang ringan, menghibur, sekaligus distortif. Politik berubah menjadi hiburan, bukan lagi diskursus.
Dalam arena ini, kubu Prabowo tampil paling piawai. Diksi “gemoy” yang melekat pada dirinya bukan sekadar spontanitas publik, melainkan strategi branding yang cermat. Seorang jenderal tua dengan sejarah panjang dipoles menjadi figur menggemaskan, sosok yang lucu, polos, bahkan tampak tanpa ancaman. Kata sederhana itu mengunci imajinasi publik, seolah-olah karakter pemimpin bisa didefinisikan hanya dengan satu label manis: gemoy.
Sementara itu, program “makan siang gratis” dipasarkan bukan sebagai kebijakan yang menuntut diskusi serius tentang anggaran dan implementasi, melainkan sebagai janji instan yang mudah dikonsumsi. Visual anak-anak sekolah menerima makanan, ditambah narasi sederhana “pemerintah peduli,” sudah cukup untuk menghapus pertanyaan kritis. Publik diajak percaya bahwa kebaikan politik bisa diwakili oleh satu piring makan siang.
Padahal, sejatinya pemilih tidak sedang memilih Prabowo sebagai calon presiden dengan segala kompleksitas rekam jejak dan visi. Mereka memilih karakter hasil konstruksi layar ponsel: sosok gemoy yang menyenangkan dan pahlawan makan siang gratis yang dermawan. Inilah jebakan rot brain, ketika otak publik yang sejak lama terbiasa memutuskan sesuatu lewat konten viral akhirnya kehilangan kemampuan membedakan antara realitas dan ilusi politik.
Lebih jauh, fenomena ini merupakan bentuk depolitisasi generasi muda. Politik dipreteli dari substansinya dan direduksi menjadi hiburan singkat. Generasi Y dan Z, yang seharusnya menjadi motor perubahan, justru dijadikan konsumen pasif algoritma. Mereka tidak lagi menuntut visi atau mempertanyakan akuntabilitas, melainkan puas dengan meme, jargon, dan janji instan.
Akhirnya, kemenangan politik yang lahir dari jebakan rot brain bukanlah kemenangan gagasan, melainkan kemenangan algoritma atas akal sehat. Demokrasi direduksi menjadi panggung meme, dan generasi muda terperangkap dalam depolitisasi paling mutakhir: memilih pemimpin bukan karena kapasitasnya, melainkan karena ia terlihat cukup “gemoy” dan menjanjikan makan siang gratis.






















