Harga minyak kini masih dalam level tinggi di atas US$ 100 per barel meski sudah menurun dibandingkan pekan lalu.
Pada Senin (14/3/2022) pukul 06:38 WIB, harga minyak jenis Brent berada di US$ 111 per barel, anjlok 1,48% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Sedangkan yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) harganya US$ 107,14 per barel, ambles 2%.
Meski demikian, harga minyak ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) dalam APBN 2022 yang sebesar US$ 63 per barel.
Masih memanasnya tensi Perang Rusia-Ukraina, ditambah dengan sejumlah sanksi dari negara-negara Barat masih menjadi faktor utama penggerak harga minyak dalam beberapa waktu terakhir ini.
Sanksi larangan impor, termasuk impor komoditas energi dari Rusia dikhawatirkan membuat pasokan minyak di pasar dunia seret. Maklum, Negeri Beruang Merah adalah salah satu produsen utama minyak dunia.
Produksi minyak Rusia merupakan terbesar ketiga dunia, setelah Amerika Serikat dan Arab Saudi.
Berdasarkan data BP Statistical Review 2021, produksi minyak Rusia pada 2020 tercatat mencapai 10,67 juta barel per hari (bph), turun 8,7% dari 2019 yang sebesar 11,68 juta bph.
Kontribusi produksi minyak dari Rusia ini mencapai 12,1% dari total produksi minyak dunia pada 2020. Produksi minyak dunia pada 2020 mencapai 88,39 juta bph, turun 6,9% dari 2019 yang sebesar 94,96 juta bph.
Meskipun menjadi produsen minyak terbesar ketiga dunia, namun konsumsi minyak Rusia tidak lah besar. Pada 2020 konsumsi minyak Rusia tercatat “hanya” 3,24 juta bph, turun 4,6% dari 2019 yang sebesar 3,39 juta bph. Adapun porsi konsumsi minyak Rusia ini cuma 3,7% dari total konsumsi minyak dunia pada 2020.
Total konsumsi minyak dunia pada 2020 tercatat mencapai 88,48 juta bph, turun 9,3% dari 2019 97,59 juta bph.
Ini artinya, konsumsi minyak Rusia hanya sekitar 30% dari total produksi minyak nasionalnya. Artinya, sekitar 70% atau 7,43 juta bph minyak yang diproduksikan negara pimpinan Vladimir Putin ini diekspor ke negara lain.
Bila Rusia terus melancarkan serangannya ke Ukraina, maka dikhawatirkan ini akan terus berpengaruh pada pergerakan harga minyak dunia. Lembaga riset JPMorgan bahkan memperkirakan harga minyak dunia bisa tembus ke level US$ 185 per barel pada akhir tahun ini bila pasokan minyak dari Rusia terus terganggu.
Tak hanya itu, Pemerintah Rusia bahkan sempat mengklaim bahwa harga minyak mentah bisa melonjak di atas US$ 300 per barel jika sejumlah negara Barat serius memberikan sanksi impor energi asal Rusia.
Hal tersebut diungkapkan Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak, seperti dikutip dari CNBC, Selasa (08/03/2022).
Novak mengancam akan memotong pasokan gas ke Eropa jika pemerintah memberikan sanksi impor energi, memperingatkan bahwa hal itu dapat menyebabkan harga minyak melonjak di atas US$ 300 per barel.
Tidak hanya ramalan mengerikan terkait harga minyak mentah, hal serupa juga diperkirakan terjadi pada komoditas energi lainnya, yakni batu bara.
Menurut penelitian Rystad Energy, reli batu bara diperkirakan terus berlanjut dan akan melewati US$ 500 per ton tahun ini.
Konflik Rusia-Ukraina juga masih menjadi penyebab utamanya. Rusia adalah pemasok batu bara termal terbesar di Uni Eropa. Menurut Eurostat, tahun lalu, Rusia memasok negara-negara anggota Uni Uni Eropa sebear 36 juta ton batu bara termal. Jumlah itu setara 70% dari total impor batu bara termal. Padahal satu dekade lalu, impor batu bara Uni Eropa dari Rusia porsinya hanya 35% dari total impor.
Melonjaknya permintaan batu bara Rusia dari negara-negara di benua biru karena peralihan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan sebagai pembangkit listrik. Permintaan batu bara untuk pembangkit listrik total telah mengalami tren penurunan dalam 10 tahun terakhir. Hal ini menyisakan Rusia sebagai pemasok, sehingga ketergantungan terhadap batu bara Rusia meningkat. Pangsa pasar Rusia pun tumbuh secara substansial dari waktu ke waktu.
“Hampir tidak ada surplus (pasokan) batu bara termal yang tersedia secara global. Harga telah melonjak melewati US$ 400 dan US$ 500 per ton tampaknya sedang dimainkan,” kata Steve Hulton, Wakil Presiden Batu Bara di Rystad Energy.
Harga batu bara sempat mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa pada Rabu (02/03/2022) di level US$ 446 per ton. Meski kini harga cenderung menurun.
Harga batu bara dunia pada penutupan perdagangan Jumat (11/03/2022) pekan lalu di pasar ICE Newcastle (Australia) ditutup pada level US$ 361,65 per ton, anjlok 1,7% dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam sepekan, batu bara amblas 11,96% dari US$ 418,75 per metrik ton pada Jumat (4/3/2022) pekan sebelumnya.
Rusia memproduksi batu bara sebesar 399,8 juta ton pada 2020, turun 9,6% dibandingkan 2019 sebesar 440,9 juta ton pada 2019. Adapun kontribusi produksi batu bara Rusia ini sebesar 5,2% dari total produksi batu bara dunia sebesar 7,74 miliar ton.
Dari sisi produksi, produksi batu bara Rusia merupakan terbesar keenam di dunia, setelah China (50,4%), India (9,8%), Indonesia (7,3%), Amerika Serikat (6,3%), dan Australia (6,2%).
Sementara dari sisi cadangan terbukti batu bara, Rusia menduduki peringkat kedua terbesar di dunia.
Berdasarkan data BP Statistical Review 2021, cadangan terbukti batu bara Rusia hingga akhir 2020, tercatat mencapai 162,17 miliar ton atau sekitar 15,1% dari total cadangan terbukti batu bara dunia.
Adapun di atas Rusia yakni Amerika Serikat yang tercatat sebagai pemilik cadangan terbukti batu bara terbesar di dunia, yakni mencapai 23,2% atau sebesar 248,94 miliar ton.
Menyusul Rusia, ada Australia (14%), China (13,3%), India (10,3%), dan Indonesia (3,2%).
Adapun total cadangan terbukti batu bara dunia hingga akhir 2020 tercatat mencapai 1.074 miliar ton.
Sumber : CNBC