
Asap gas air mata menggantung di udara. Batu, botol, dan serpihan benda beterbangan. Tubuh-tubuh tergeletak di aspal, darah menodai sepatu dan kaki para pejalan. Jeritan manusia bercampur dengan sirine, menjadi simfoni kelam dari sebuah negara yang sedang menatap wajahnya sendiri—wajah yang sudah lama terlupakan oleh rasa keadilan. Demonstrasi yang kemarin bukan sekadar keributan; ia adalah produk ketidakadilan yang disusun rapi oleh sistem dan dilegalkan oleh pejabat yang mabuk kekuasaan.
1. Demonstrasi yang Berjilid-jilid: Tanda Ketidakadilan yang Mendalam
Pada 30 Agustus 2025, demonstrasi di Makassar, Sulawesi Selatan, berujung pada tragedi. Tiga orang tewas setelah gedung DPRD dibakar oleh massa yang marah atas tunjangan perumahan anggota dewan yang mencapai 50 juta rupiah per bulan—sepuluh kali lipat dari upah minimum Jakarta. Di Jakarta, Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tewas terlindas kendaraan Brimob saat demonstrasi. Insiden ini memicu kemarahan nasional dan solidaritas dari berbagai kalangan. Protes meluas ke Bandung, Surabaya, Bali, dan Yogyakarta, dengan hampir 950 orang ditangkap di Jakarta saja .
2. Hedonisme Pejabat di Hadapan Rakyat
Sementara rakyat berjuang di jalanan, pejabat menikmati kemewahan. Anggota DPR menerima tunjangan perumahan yang fantastis, sementara di sisi lain, pemerintah memberlakukan pemotongan anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Para wakil menteri ditunjuk menjadi komisaris BUMN, bukan karena kompetensi, tetapi untuk menambah penghasilan pribadi. Negara menanggung biaya, rakyat menanggung konsekuensi: pajak yang membengkak, harga kebutuhan pokok yang melambung, dan hidup yang semakin berat.
3. Ketidakadilan dalam Penegakan Hukum
Kasus korupsi di BUMN semakin marak. Pada 2024, Mahkamah Agung meregistrasi setidaknya 24 putusan korupsi di Bulog, 6 putusan di PT PLN, dan lebih dari 500 putusan di lingkungan perbankan pemerintah. Namun, banyak kasus yang tidak ditindaklanjuti secara serius. Pejabat yang terlibat seringkali tidak mendapat hukuman setimpal, sementara rakyat biasa dihukum berat atas pelanggaran kecil. Nepotisme juga merajalela; jabatan publik seringkali diisi oleh keluarga atau kerabat dekat pejabat, mengurangi kesempatan bagi masyarakat umum untuk berkontribusi dan memperlambat pemerataan ekonomi .
4. Korupsi yang Membebani Negara
Antara 2016 hingga 2023, terdapat setidaknya 212 kasus korupsi di lingkungan BUMN yang merugikan negara sekitar Rp64 triliun. Namun, dengan adanya revisi UU BUMN pada 2025, kekhawatiran muncul bahwa celah untuk praktik korupsi akan semakin terbuka. Revisi ini memungkinkan pejabat BUMN untuk tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara, sehingga dapat menghindari jeratan hukum.
5. Kerusakan Lingkungan yang Semakin Parah
Kerusakan lingkungan semakin menjadi masalah serius. Alih fungsi lahan secara masif untuk perkebunan, pertambangan, dan proyek strategis nasional menyebabkan deforestasi yang cepat. Selain itu, pencemaran industri, termasuk limbah cair, asap smelter, dan emisi dari kendaraan serta pabrik yang belum memenuhi standar emisi, memperburuk kualitas udara dan air. Pada 2025, diperkirakan 14 juta ton sampah plastik masuk ke laut setiap tahun, menjadikan lautan kita sebagai tempat pembuangan sampah terbesar .
6. Pajak yang Membebani Rakyat
Pajak yang tinggi membebani rakyat, sementara pejabat dan elite politik menikmati fasilitas mewah. Pajak yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik malah seringkali diselewengkan. Rakyat kecil harus menanggung beban ekonomi yang berat, sementara pejabat menikmati tunjangan dan fasilitas yang tidak sebanding dengan penghasilan mayoritas rakyat .
7. Demonstrasi sebagai Cermin Ketidakadilan
Demonstrasi yang terjadi bukanlah kegaduhan semata; ia adalah cermin dari ketidakadilan yang mendalam. Setiap korban yang jatuh, setiap luka yang terbuka, menyoroti kontradiksi paling mendasar: kekuasaan yang menumpuk untuk diri sendiri, dan rakyat yang diperas untuk bertahan hidup. Anak-anak yang menatap kosong ketika minyak goreng habis di warung kecil, ibu-ibu yang menakar beras satu genggam lebih sedikit karena harga naik, mereka adalah saksi diam dari kegagalan elit yang seharusnya menjaga keadilan.
8. Tuntutan Rakyat kepada Presiden Prabowo
Presiden Prabowo harus membaca ini. Kerusuhan bukan ancaman stabilitas—ia adalah teriak rakyat yang menuntut agar para elite berhenti berpura-pura. Jangan biarkan demonstrasi “dijogetin” menjadi hiburan politik, atau dikemas sebagai berita sensasional di media. Dengarkan, pahami, dan berikan jawaban: keadilan nyata, bukan janji dan retorika kosong.
9. Kesimpulan
Jika pemerintah tetap membiarkan ketidakadilan ini, rakyat akan terus jatuh. Luka tidak akan sembuh. Dendam sosial akan menumpuk. Legitimasi politik tidak akan pulih. Maka, jangan “jogetin” demonstrasi ini. Baca itu. Renungkan itu. Karena di balik kericuhan, darah, dan air mata, tersimpan produk ketidakadilan yang menunggu jawaban nyata dari negara.























