Fusilatnews – Waktu kecil, almarhumah nenek saya punya filosofi sederhana tentang masak: kalau bahan-bahannya busuk, mau dikasih bumbu sebanyak apa pun hasilnya tetap tidak enak. Tapi kalau bahannya segar dan sistem memasaknya benar, dengan sedikit garam saja sudah jadi hidangan istimewa.
Saya sering teringat pada kalimat itu. Bukan hanya ketika di dapur, tapi juga ketika menutup laporan ekonomi makro yang keempat puluh kalinya minggu itu. Angka-angka yang meloncat-loncat, grafik yang seolah menari, kata-kata yang penuh jargon—semuanya terasa hambar. Ada rasa pahit yang tidak bisa ditutupi.
Pagi itu, email dari Kabayan masih terbuka di layar laptop saya. “Teung,” tulisnya, “ekonomi itu ujungnya manusia. Kalau manusianya rusak, ekonominya juga bakal rusak. Dan manusia rusak itu dimulai dari sekolah—sistem yang ngajarin anak-anak bahwa curang itu wajar, jalan pintas itu normal.”
Saya membaca ulang kalimat itu, seakan sedang menyimak sebuah lelucon yang tidak lucu. Kabayan mungkin bermaksud ringan, tapi kata-katanya menancap. Saya ingat wajah-wajah anak sekolah yang terbiasa menitip absen, menyalin pekerjaan rumah, bahkan membeli ijazah. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa integritas adalah kemewahan, sementara kelicikan adalah keterampilan.
Dari situ, mereka masuk ke dalam dunia yang lebih besar. Menjadi pejabat yang menandatangani dokumen tanpa membaca. Menjadi pengusaha yang lebih piawai melobi ketimbang berinovasi. Menjadi politisi yang pandai menjual janji, tapi lupa menepatinya.
Semuanya masuk ke dalam panci besar bernama bangsa. Kita tambahkan bumbu subsidi, proyek prestisius, jargon pembangunan. Kita aduk-aduk, kita suguhkan di meja. Kamera menyorot, tepuk tangan terdengar. Tapi ketika dicicipi, rasanya tetap sama: getir.
Nenek saya mungkin akan menggeleng. Ia tahu, masakan seperti itu tidak akan pernah tahan lama. Karena yang busuk sejak awal tak bisa diubah jadi segar.
Yang paling getir: kita belajar mengagumi kebiasaan menutup bau busuk dengan bumbu. Kita menyebutnya kecerdikan, padahal itu hanya penundaan kebusukan. Seakan bangsa bisa terus berjalan dengan trik.
Kabayan, dengan kesederhanaannya, sudah memberi jawaban: ekonomi hanyalah wajah manusia. Kalau wajah itu retak, jangan berharap cermin memberi pantulan yang indah.
Dan saya, dengan bekal kalimat nenek yang sederhana, percaya: bangsa ini tidak butuh lebih banyak bumbu. Bangsa ini butuh keberanian membuang bahan busuk, dan kesabaran menanam yang baru.






















