Kenapa Melalui Jalan Radikal? Mereka yang tidak bersaudara dalam iman bisa bersaudara dalam kemanusiaan
Telah menjadi viral terutama di media-media sosial, ada beberapa aktifitas kelompok umat islam yang di beri label sebagai “gerakan kelompok Islam radikal”. Pers asing sering kali menyebut mereka sebagai the hard-liners. Opini Kelompok Radikal, hard liners, atau istilah lain juga, dengan konotasi negative (?), sebagai Jihadist, terbentuk dari ulah-ulah mereka juga. Mengapa? Sesederhana referensinya, teori komunikasi, atau teori da’wah, yaitu bila audience/mustami gagal faham, yang salah adalah si pembicaranya atau da’inya. Itu saja.
Sudah lama saya merenung, dan ingin menulis hal ini, ahirnya saya mulai di hari pertama bulan suci ramadhan ini. Atas permintaan beberapa teman juga. Tulisan ini, ibarat si 5 orang buta, yang diminta menjelaskan pengalaman meraba raba seekor gajah; Salah seorangnya mengatakan, kalau gajah itu bentuknya pipih, karena yang di pegang hanya bagian kupingnya saja. Itulah tulisan ini!. Hanya dari salah satu aspek saja.
Kembali kepada Label Islam Radikal itu. Saya mulai dengan suatu pertanyaan awal, mengapa itu terjadi? Apakah keliru yang menuding?. Atau salah yang berbuat? Tadi diatas sudah saya jawab, “tiada asap bila tiada api”, statement ini saya kutip untuk memperkuat premis saya tadi.
Supaya saya tidak berputar-putar, maka saya akan langsung saja memulai dengan mengutip ayat quran ini;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
________________________________________Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Al-Hujarat 13.
Ayat yang turun 14 abad yang lalu, sesungguhnya menjawab kebutuhan pada era global sekarang ini, yang sempat saya sampaikan kepada para ulama dan tokoh-tokoh terkemuka muslim, di berbagai kesempatan. bila dijadikan thema central da’wah para ulama Muslim itu, untuk kondisi di Indonesia, pas. Tepat sekali. Ruh da’wah dengan dasar ayat tersebut. Karena kata kunci kalimat “lita’arafu” ( لِتَعَارَفُوا ), atau arti bebasnya “faham akan artinya berbagai perbedaan”, maka asumsi saya, damailah Indonesia. Sehinga jangan sampai ada orang yang meragukan akan islam itu mempunyai falsafah kelembutan. Munculah keindahanya Islam sebagai agama yang rachmatan lil alamin. Kelompok-kelompok yang gerakannya dijuluki sebagai kelompok radikal pun akan sirna dengan sendirinya.
Setelah thema, sekarang saya ingin menjelaskan bagaimana watak para juru da’wah muslim itu. Sejatinya ahlaqnya tentu adalah al qur’an. Ayat yang indah, yang tidak pernah lupa dalam ingatan saya, sebagai peminat ilmu komunikaksi, adalah
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan Al Hikmah dan Pelajaran
yang baik, dan Bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa saja yang tersesat dari jalan-Nya. Dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS 16 An Nahl ayat 125)”
Itu ayat metoda da’wah yang tetap modern sepanjang jaman, yang lebih dari sekedar hanya dengan cara persuasive saja. Sama sekali tidak mengandung “fear off arrousing”. Tetapi ada kata hikmat dan contoh tauladan yang baik. Not only just to talk.
Siapa target audiencenya (mustami)? Da’wah kepada siapa saja, ketika Tuhan memiminta untuk memahami siapa audience kita, apalagi dengan metoda bil hikmah wal mauidhoti hasanah itu, maka tidak akan pernah berbenturan karena perbedaan nilai-nilai, etnis, dan karena berbeda berbagai bangsa-bangsa itu. Tidak perlu dengan cara radikal pula, yang tidak pernah diajarkan bahkan tidak ada contoh sama sekali dalam sejarah Islam.
Rumus lain, dari Nabi SAW adalah “khotibunnasa ala qudri uqulihim”, khotbahilah manusia-manusia itu, yang sesaui dengan kemampuan kadar intelektualnya. Ini menjelaskan kualifikasi segmentif, kelas social, kelas pendidikan, sexual, dan lain-lainnya. Ada golongan-golongan. Artinya tidak boleh menyama ratakan dalam menyusun materi da’wah. Jangan pukul rata.
Materi Da’wah
Produk dari memprioritaskan “dakwah syariah” (hukum), lahirlah perbedaan-perbedaan pemahaman Pilihan mahzab-mahzab yang sangat tajam. Berbenturan satu sama lain, hanya gara-gara soal mengucapkan dan tidak mengucapkan niat sholat. Urusan membaca ussholi atau doa qunut saja dalam sholat, sampai saat ini masih tetap tajam dan tetap hangat diperdebatankan. Padahal hukum-hukum itu produk dari penelusuran para zumhur dahulu atas perilaku dan ucap nabi, yg antara lain disimpulkan menurut sikap pandang para sahabat yang hidup sejaman dengan rosulullah, yg terkumpul dalam hadist-hadist itu.
Jadi harus darimana menjelaskan/menda’wahkan agama itu? Nah..ini yg menarik. Tidak perlu terlalu jauh mencari rujukannya. Kita ingat ungkapan rosul, bahwa ia diutus untuk menyempurnakan ahklaq (innamal buistu liutamimakarimul ahklaq). Aku diutus untuk menyempurnakan ahklaq. Luar biasa bukan? Ahlaq!. Inilah esensi dari orang menganut agama. Kumulatif dari semua elemen seperti iman, taqwa, aqidah tauhid, dll, adalah “ahlaqul karimah”. Dalam bahasa yang sederhana falsafah keagamaan adalah “budi pekerti”. Bahkan kesantunan itu menjadi suatu kekuatan.
Mulailah berislam itu dengan ahklaq yang baik. Respek kepada orang yang berbeda segalanya dengan kita. Toleransi. Jangan mengkafirkan orang. Assida’u alal kufar itu, lbh baik ditujukan untuk diri kita sendiri. Karena kafir itu, nida-nya bukan hanya menunjuk kepada orang lain, tetapi kepada diri kita sendiri. Membunuh Yahudi itu, bukan orangnya, tetapi sifat keyahudiaan yang ada dalam otak kita. “Ibda binafsihi” atau self correction.
“Muslim ialah orang yang menyelamatkan orang lain dari gangguan lidah dan tangannya.” Bolehkan ini jadi pedoman bagi para da’i. Ayat lain mengatakan “sebaik-baik umat, adalah mereka yang memberi manfaat kepada orang lain”.
Janganlah sampai kejadian seperti sekarang, akibat da’wah-da’wah kelompok yang diberi label radikal tersebut, Islam yang mottonya rahmatan lil alamin dan yang “ya’lu wala yu’la alaihi” itu, terjungkal ketempat yang sangat bawah hingga ke dasar yang serendah-rendahnya. Keberanian orang saat ini menista agama Islam dan para ulama-ulamanya dalam berbagai bentuknya, adalah ahir kumulatif dari dakwah-dakwah yang tidak berpedoman kepada dalil dalil shahih tadi. Dalil ahlaqul karimah.
*Buya Hamka* menasehati kita semua tentang Dakwah, seperti ini;
Dakwah itu *membina*, bukan menghina.Dakwah itu *mendidik*, bukan ‘membidik’Dakwah itu *mengobati* bukan melukai.Dakwah itu *mengukuhkan* bukan meruntuhkan.Dakwah itu *saling menguatkan*, bukan saling melemahkan.Dakwah itu *mengajak*, bukan mengejek.Dakwah itu *menyejukkan*, bukan memojokkan.Dakwah itu *mengajar*, bukan menghajar.
Dakwah itu saling *belajar*, bukan saling bertengkar.Dakwah itu *menasehati* bukan mencaci maki.Dakwah itu *merangkul* bukan memukul.Dakwah itu ngajak *bersabar*, bukan ngajak mencakar.Dakwah itu *argumentative*, bukan provokatif.Dakwah itu *bergerak cepat*, bukan sibuk berdebat.Dakwah itu *realistis* bukan fantastis.Dakwah itu *mencerdaskan* bukan membodohkan.Dakwah itu *menawarkan solusi* bukan mengumbar janji.Dakwah itu *berlomba dalam kebaikan* bukan berlomba saling menjatuhkan.Dakwah itu *menghadapi masyarakat* bukan membelakangi masyarakat.Dakwah itu *memperbarui masyarakat*, bukan membuat masyarakat baru.Dakwah itu *mengatasi keadaan* bukan meratapi kenyataan.Dakwah itu *pandai memikat*, bukan mahir mengumpat.Dakwah itu *menebar kebaikan* bukan mengorek kesalahan.Dakwah itu *menutup aib dan memperbaikinya,* bukan mencari2 aib dan menyebarkannya.Dakwah itu *menghargai perbedaan*, bukan memonopoli kebenaran.Dakwah itu *mendukung semua program kebaikan* bukan memunculkan keraguan.Dakwah itu memberi *senyum manis*, bukan menjatuhkan vonis.Dakwah itu *berletih-letih menanggung problema umat*, bukan meletihkan umat.Dakwah itu *menyatukan kekuatan*, bukan memecah belah barisan.Dakwah itu *kompak dalam perbedaan*, bukan ribut mengklaim kebenaran.Dakwah itu *siap menghadapi musuh* bukan selalu mencari musuh.Dakwah itu *mencari teman*, bukan mencari lawan.Dakwah itu *melawan kesesatan* bukan mengotak atik kebenaran.Dakwah itu *asyik dalam kebersamaan* bukan bangga dengan kesendirian.Dakwah itu *menampung semua lapisan*,bukan memecah belah persatuan.Dakwah itu kita mengatakan: *”aku cinta kamu”*bukan “aku benci kamu”Dakwah itu kita mengatakan: *”Mari bersama kami”* bukan “Kamu harus ikut kami”.Dakwah itu *”Beaya Sendiri”*bukan “Dibeayai/Disponsori”Dakwah itu *”Habis berapa ?”* bukan “Dapat berapa ?”Dakwah itu “Memanggil/ *Mendatangi* bukan “Dipanggil/Panggilan”Dakwah itu *”Saling Islah”* bukan “Saling Salah”Dakwah itu di masjid, di sekolah, di pasar, di kantor, di parlemen, di jalanan, hingga dimana saja, *bukan hanya di pengajian.*Dakwah itu dengan *”Cara Nabi”* bukan dengan *”Cara Sendiri”*.
Menghidupkan Islam
Mempraktekan Islam dalam kehidupan sehari-hari jangan memisah-misahkan (dikotomi) antara aktifitas ritualitas dan praktek kehidupan sehari-hari. Jangan. Islam itu kaffah (paripurna). Berislam bukan sholat. Bukan Pula hanya sekedar puasa atau pergi berhaji. Tetapi menyayangi sesama, tanpa kecuali, adalah berislam. Bertani yang baik adalah berislam. Belajar yang ulet adalah berislam. Berumah tangga yang harmonis adalah berislam. Memaklumi orang lain berbeda dengan kita adalah berislam. Mendalami berbagai masalah untuk kemasalahatan sosial adalah berislam. Ikut siskamling ronda malam, adalah berislam, dll. Nggak perlu di cari-cari lagi dalil-dalilnya, sehingga harus pergi mengaji kepada ustadz-ustadz. Mulailah dengan bismilah, lalu tersenyum kepada setiap orang, and do the right thing, dst.
Di ahir tulisan ini, saya kutip fatwa Ali bin Abi-Thalib RA. pernah mengatakan: “Mereka yang tidak bersaudara dalam iman bersaudaralah dalam kemanusiaan”.