FusilatNews – Abu Hamid Al-Ghazali, seorang filsuf dan sufi besar, menyampaikan sebuah pemikiran mendalam:
“Barang siapa yang tidak tergerak oleh musim semi dan bunga-bunganya, serta oleh alat musik dan senarnya, maka ia memiliki jiwa yang rusak dan tak ada obat baginya.”
Ungkapan ini bukan sekadar pujian terhadap keindahan alam dan seni, tetapi sebuah pernyataan filosofis yang mengungkap hakikat kepekaan jiwa manusia. Al-Ghazali menekankan bahwa keindahan, baik dalam bentuk alam maupun seni, adalah cerminan dari kehidupan spiritual dan emosional seseorang. Jika seseorang tidak mampu merasakan keindahan tersebut, maka hal itu menjadi tanda bahwa jiwanya telah tertutup atau bahkan mati.
Keindahan sebagai Penggerak Jiwa
Musim semi dalam banyak tradisi melambangkan kebangkitan, kehidupan baru, dan harapan. Bunga-bunga yang bermekaran merupakan metafora dari keindahan yang dapat menghidupkan perasaan manusia. Demikian pula, musik dengan harmoni dan melodinya memiliki kekuatan untuk membangkitkan emosi dan menyentuh kedalaman batin. Al-Ghazali ingin menunjukkan bahwa manusia yang sehat secara spiritual seharusnya bisa merasakan resonansi dari keindahan tersebut.
Ketika seseorang tidak tergerak oleh keindahan, hal ini bisa menjadi pertanda bahwa jiwanya telah kering dan kehilangan sensitivitas terhadap aspek-aspek yang menghidupkan batin. Dalam perspektif sufisme, jiwa yang demikian dianggap terjebak dalam kegelapan materialisme atau telah terkunci oleh kebodohan dan kesombongan diri.
Hubungan Kepekaan dan Kesehatan Spiritual
Dalam konteks yang lebih luas, Al-Ghazali ingin menyampaikan bahwa kepekaan terhadap keindahan adalah tanda dari hati yang hidup. Hal ini sejalan dengan konsep tasawuf yang menekankan pentingnya hati yang lembut dan terbuka untuk menerima cahaya Ilahi.
Banyak sufi menganggap bahwa alam adalah ayat-ayat Tuhan yang terbuka, dan seni adalah refleksi dari keharmonisan Ilahi. Ketidakmampuan seseorang untuk merasakan keindahan ini menunjukkan bahwa hatinya telah tertutup dari cahaya tersebut. Dalam Islam, hati yang keras (qaswatul qalb) adalah kondisi yang berbahaya, karena membuat seseorang kehilangan kelembutan, empati, dan rasa syukur.
Konsekuensi Jiwa yang Kering
Al-Ghazali menyatakan bahwa seseorang yang tidak bisa merasakan keindahan adalah orang yang memiliki jiwa rusak tanpa obat. Pernyataan ini terasa keras, tetapi sebenarnya merupakan peringatan bahwa kehilangan kepekaan terhadap keindahan dapat menyebabkan kehampaan eksistensial. Jiwa yang kering akan sulit merasakan kebahagiaan, kehilangan apresiasi terhadap kehidupan, dan terjebak dalam kesuraman batin.
Dalam kehidupan modern, banyak orang yang terperangkap dalam rutinitas yang menumpulkan kepekaan terhadap keindahan. Kebisingan kota, tekanan pekerjaan, dan arus informasi yang deras sering kali membuat manusia kehilangan momen untuk sekadar menikmati bunga yang bermekaran atau mendengarkan alunan musik dengan penuh penghayatan. Akibatnya, jiwa menjadi kering dan kehilangan vitalitas.
Menumbuhkan Kepekaan terhadap Keindahan
Untuk menghindari kehancuran batin sebagaimana yang diperingatkan Al-Ghazali, manusia perlu melatih kembali kepekaan terhadap keindahan. Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti:
- Merenungkan Keindahan Alam
Menyediakan waktu untuk mengamati dan menikmati alam dapat membantu membangkitkan rasa syukur dan memperdalam koneksi spiritual. - Menikmati Seni dengan Kesadaran Penuh
Musik, puisi, lukisan, atau karya seni lainnya dapat menjadi jendela menuju keindahan yang lebih dalam jika dinikmati dengan penuh perhatian dan keterbukaan. - Melatih Kelembutan Hati
Keindahan hanya bisa dirasakan oleh hati yang lembut dan penuh kasih. Oleh karena itu, penting untuk melatih empati, kasih sayang, dan rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari. - Menghindari Kebisingan yang Menumpulkan Sensitivitas
Dunia modern sering kali dipenuhi dengan informasi yang berlebihan dan hiburan yang dangkal. Dengan mengurangi distraksi, manusia dapat lebih mudah merasakan dan mengapresiasi keindahan sejati.
Kesimpulan
Al-Ghazali, melalui kutipannya yang mendalam, mengingatkan kita bahwa kepekaan terhadap keindahan bukan hanya sekadar perkara estetika, tetapi juga refleksi dari kesehatan spiritual dan emosional. Jika seseorang tidak mampu merasakan keindahan alam dan seni, itu bisa menjadi tanda bahwa jiwanya telah mengalami kekeringan yang berbahaya. Oleh karena itu, menjaga kepekaan terhadap keindahan adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa jiwa tetap hidup, lembut, dan terbuka terhadap cahaya Ilahi.