Damai Hati Lubis-Koordinator TPUA/ Tim Pembela Ulama & Aktivis.
Fenomena pra dan pasca Pemilu Pilpres 2024 telah memunculkan gejala sosio-politik yang berkembang secara dinamis di tengah masyarakat. Implementasinya termanifestasi dalam eksistensi berbagai gejolak penolakan terhadap dugaan kecurangan yang terjadi selama Pemilu Pilpres 2024. Keberadaan gejolak ini diduga merupakan akibat perilaku KPU dan pembiaran oleh Bawaslu RI, serta Presiden RI Jokowi melalui kebijakan yang diterapkan terhadap peristiwa pelanggaran atau praktik kecurangan yang dilakukan oleh KPU. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai wujud politik konspirasi dengan bandit mafia pemilu, yang secara paradoks terbalik dari keharusan KPU untuk bertindak dan berlaku secara jujur dan adil.
Sehingga, Jokowi, KPU, dan Bawaslu, yang seharusnya menjadi contoh teladan, justru bersama-sama dengan beberapa pejabat publik lainnya, diduga oleh publik sebagai pihak yang terlibat dalam pelanggaran yang sudah direncanakan jauh sebelum Pemilu Pilpres 2024 berlangsung. Hal ini menyebabkan pelanggaran tersebut memiliki ciri TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif), yang merupakan jenis pelanggaran yang paling serius dalam sistem pemilu sesuai dengan UU RI No. 7 Tahun 2017.
Dalam dinamika pasca-pemilu saat ini, PKS, sebagai organisasi politik yang menjadi bagian dari koalisi pendukung Paslon Presiden 01, AMIN/ANIES MUHAIMIN, memainkan peran penting dalam menghadapi gejala perkembangan sosio-politik yang muncul. Sebagai salah satu partai pendukung, PKS telah menyuarakan keberatannya terhadap dugaan kecurangan yang terjadi selama proses pemilu.
Banyak pemilih PKS merasa dikhianati oleh lembaga KPU dan sistem dalam proses pencalonan kontestan capres 02, terutama terkait dengan proses hukum yang mengakibatkan Gibran menjadi cawapres 02. Penolakan terhadap rekapitulasi perolehan suara oleh KPU menjadi sikap yang diambil oleh PKS sebagai respons terhadap dugaan pelanggaran.
Selain itu, PKS juga menyoroti pola penggunaan server yang berdomisili di Singapura dalam proses pemilu, yang dianggap melanggar Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Undang-undang ini secara tegas melarang penyimpanan data pribadi penting dan vital di luar negeri. Dengan demikian, PKS mengangkat isu ini sebagai bagian dari protes mereka terhadap proses pemilu yang dianggap tidak transparan dan melanggar hukum.
Secara keseluruhan, PKS menunjukkan peran aktif dalam mengkritisi dan menolak dugaan kecurangan serta pelanggaran hukum dalam proses pemilu. Sikap ini mencerminkan upaya mereka untuk mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dalam sistem politik Indonesia.
Menghadapi tuntutan untuk membela umat dan nilai-nilai demokrasi yang mereka wakili, PKS, bersama dengan partai-partai pendukung Anies-Muhaimin (AMIN), memiliki tanggung jawab besar untuk menegakkan keadilan dan transparansi dalam sistem politik Indonesia. Terutama ketika mereka dihadapkan pada tuduhan sebagai “partai atau kelompok identitas radikal”, PKS dan sesama partai koalisi AMIN tidak bisa bersikap netral atau membiarkan kecurangan terjadi. Sebaliknya, mereka wajib untuk melawan setiap bentuk kecurangan yang terjadi.
Dalam konteks ini, sudah seharusnya PKS dan partai-partai lain dalam koalisi AMIN berdiri bersama secara tegas untuk membela suara demokrasi dari para konstituennya. Ini bukan hanya untuk memastikan keberadaan mereka di legislatif dan memenuhi Parliamentary Threshold, tetapi juga untuk memperjuangkan hak-hak warga negara Indonesia untuk memilih secara bebas dan adil.
Dengan mengambil peran aktif dalam memerangi kecurangan dan melindungi demokrasi, PKS dan partai-partai pendukung AMIN dapat memastikan bahwa suara dan aspirasi umat yang mereka wakili tetap dihargai dan diakui dalam proses politik. Ini juga akan memperkuat legitimasi mereka sebagai partai politik yang bertanggung jawab dan berkomitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi.
Sejarah telah menunjukkan bahwa partai-partai seperti PKS, Nasdem, dan PKB telah memiliki peran yang signifikan dalam pemerintahan sebelumnya, dan dengan mempertahankan komitmen mereka terhadap demokrasi, mereka dapat terus menjadi kekuatan yang penting dalam mewujudkan perubahan positif dalam pemerintahan Indonesia. Dengan demikian, membela suara demokrasi para konstituennya adalah tanggung jawab moral dan politik yang tidak bisa diabaikan oleh PKS dan partai-partai lainnya dalam koalisi AMIN.
Dalam situasi yang dihadapi, para intelektual PKS dan Koalisi AMIN seharusnya menyadari betapa berharganya “gold momentum” yang dimiliki Indonesia dalam potensi memiliki seorang pemimpin bangsa lintas agama dan budaya seperti Anies Baswedan. Namun, momentum tersebut nyaris hilang karena faktor kecurangan yang telah terjadi, menyebabkan banyak tokoh menganggap bahwa pemilu 2024 merupakan yang terburuk dalam sejarah pemerintahan RI sejak Orde Lama, karena adanya indikasi kuat pola kecurangan yang dirancang dengan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), bahkan melibatkan figur bakal presiden.
Dalam konteks ini, jika PKS, Nasdem, PKB, serta Partai Ummat diam dan tidak bertindak, mereka tidak hanya mengkhianati kepercayaan para pemilihnya dan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya, tetapi juga membuat diri mereka terlibat dalam pembiaran perilaku kedzoliman yang terus berlangsung. Sikap diam atau netralitas dalam menghadapi dugaan kecurangan yang begitu serius hanya akan menyebabkan kehilangan momentum berharga bagi Indonesia dalam memilih pemimpin yang sesuai dengan aspirasi dan harapan rakyat.
Maka dari itu, sebagai bagian dari koalisi yang berjuang untuk keadilan dan demokrasi, PKS, Nasdem, PKB, dan Partai Ummat memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk berdiri bersama dalam mengungkap dan menentang segala bentuk kecurangan yang terjadi. Hanya dengan tindakan yang nyata dan bersatu, mereka dapat memastikan bahwa suara dan aspirasi rakyat benar-benar dihormati dan diwujudkan dalam proses politik.
Jika PKS, Nasdem, PKB, dan Partai Ummat sebagai pengusung dan pendukung AMIN bersatu dalam memberikan pernyataan tegas, cukup dengan menyatakan bahwa para simpatisan partai koalisi AMIN turun ke jalan sebagai desakan publik dan protes keras terhadap segala bentuk kecurangan yang terjadi dalam pemilu Pilpres-Pileg 2024. Selain itu, mereka juga mendesak agar hak angket dapat diwujudkan dan mendapatkan dukungan dari banyak partai sebagai representasi tekanan politik terhadap perilaku dan hasil pemilu yang curang.
Jika pernyataan politik ini disampaikan secara terbuka kepada publik, terutama oleh PKS, dan kemudian dipatuhi oleh seluruh simpatisan mereka di Jakarta dan sekitarnya, maka secara perspektif, kekuatan politik dan hukum rakyat akan menjadi lebih jelas. Dengan demikian, Jokowi dan pasangan nomor urut 2 yang ia dukung akan segera menghadapi tekanan yang besar, bahkan mungkin mengalami diskualifikasi. Selain itu, anggota KPU dan BAWASLU yang terlibat dalam dugaan kecurangan juga bisa digantikan oleh individu yang lebih tepat, objektif, dan kompeten, yang memenuhi standar profesionalisme dan proporsionalitas.
Dengan langkah-langkah ini, PKS, Nasdem, PKB, dan Partai Ummat tidak hanya menunjukkan keseriusan mereka dalam memperjuangkan keadilan dan demokrasi, tetapi juga memberikan harapan bagi rakyat Indonesia bahwa suara dan aspirasi mereka akan dihormati dan diakui dalam proses politik. Langkah-langkah ini juga akan mengukuhkan posisi mereka sebagai kekuatan politik yang mampu mempengaruhi dan membawa perubahan positif bagi masa depan bangsa.