Dalam teori komunikasi klasik, proses penyampaian pesan yang ideal adalah ketika terjadi two-way traffic—lalu lintas komunikasi dua arah yang hidup. Ini bukan hanya soal berbicara, melainkan tentang “sambung rasa,” keterhubungan emosional antara pengirim dan penerima pesan. Di situ, terjadi dialog, klarifikasi, hingga pemahaman yang mendalam. Komunikasi menjadi sebuah jembatan, bukan sekadar pengeras suara.
Fenomena ini sangat kontras jika kita melihat gaya komunikasi dua figur yang sedang atau pernah menduduki kursi kekuasaan tertinggi di Indonesia: Joko Widodo dan putranya, Gibran Rakabuming Raka.
Jokowi, dalam masanya, memilih blusukan sebagai metode komunikasi. Ia mendatangi pasar, gang sempit, hingga desa terpencil. Namun, walau tampak akrab secara fisik, pendekatan ini sering kali tetap menjadi monolog, bukan dialog sejati. Kekurangan dalam penguasaan kosa kata, keterbatasan semiotika, serta kegamangan dalam mengolah narasi membuat pesan-pesan Jokowi kerap menimbulkan multitafsir. Bukannya memperjelas, komunikasi ini sering justru memperkeruh. Ini bukan semata soal gaya, melainkan soal substansi: kurangnya kemampuan membangun jembatan rasa yang kokoh antara pemimpin dan rakyat.
Ada latar belakang yang mungkin memberi penjelasan. Jokowi, Iriana, bahkan Gibran secara terbuka pernah menyatakan bahwa mereka “tidak suka membaca.” Sesuatu yang, di tengah tantangan kepemimpinan modern, justru menegaskan kekosongan basis referensi intelektual dalam berkomunikasi. Membaca bukan hanya memperkaya kosa kata, melainkan juga memperdalam wawasan, memperhalus sensitivitas, dan mengasah ketepatan menyampaikan pesan.
Kini, Gibran, sebagai Wakil Presiden RI, mengambil jalur berbeda namun senapas dengan tradisi komunikasi keluarganya: membuat kanal YouTube resmi, #GibranTV. Dalam tiga video monolognya—tentang bonus demografi, sepak bola nasional, dan hilirisasi—Gibran mencoba berbicara langsung kepada publik. Namun, lagi-lagi, ini hanyalah monolog: pesan satu arah tanpa ruang sambung rasa, tanpa kesempatan bagi rakyat untuk bertanya, merespons, atau berdialog secara sejajar.
Memang, seperti kata Wamensesneg Juri Ardiantoro, setiap pejabat berhak memilih gaya komunikasinya. Video dianggap sebagai medium praktis untuk menyampaikan pesan kebijakan. Tapi substansi komunikasi publik bukan hanya tentang “menyampaikan”, melainkan membangun pengertian dan kedekatan emosional. Komunikasi politik ala pemerintah yang dipraktikkan Gibran saat ini lebih mirip seperti menaruh pengumuman di papan reklame: terlihat, namun terasa jauh.
Respons publik terhadap video-video Gibran juga memperlihatkan keterputusan ini. Meski viewership di YouTube cukup besar, namun sentimen negatif mendominasi. Ada ironi yang terasa menyakitkan: Gibran mendorong generasi muda untuk bekerja keras, padahal dirinya sendiri dinilai banyak pihak memperoleh jabatan lewat privilege politik, bukan jerih payah meritokratis. Narasi yang disampaikan tidak sejalan dengan kenyataan yang publik lihat.
Analis Drone Emprit, Nova Rizal Mujtahid, mencatat, pilihan platform YouTube sendiri menjadi salah satu sebab lemahnya resonansi. Basis pendukung Gibran sejak Pilpres 2024 lebih kuat di TikTok—platform yang pendek, cepat, ringan, dan emosional. Sementara YouTube, yang menuntut atensi lebih lama dan konten lebih substansial, bukanlah kanal utama para pendukungnya. Ini menunjukkan kegagalan strategi komunikasi dalam memahami audiens.
Gibran dan Jokowi, dalam dua zaman yang berbeda, sesungguhnya menghadapi tantangan serupa: ketidakmampuan menjadikan komunikasi sebagai jalan membangun rasa saling mengerti. Baik blusukan maupun video monolog gagal menjadi jembatan penghubung karena miskinnya substansi, dangkalnya refleksi, dan absennya tradisi membaca yang membentuk kedalaman berpikir.
Dalam dunia modern, di mana publik semakin cerdas, kritis, dan menuntut keterbukaan, komunikasi satu arah tanpa dialog nyata hanya akan memperlebar jarak antara penguasa dan yang dikuasai. Sambung rasa tidak bisa dibangun dengan sekadar hadir secara fisik atau berbicara di depan kamera. Ia butuh kejujuran, kedalaman, dan kesediaan untuk mendengarkan.
Tanpa itu semua, apa pun medianya, komunikasi tetaplah hanya monolog hampa. Dan rakyat pun, perlahan tapi pasti, akan memilih untuk mematikan suaranya.