Hal pertama yang sering disalahpahami adalah menganggap koalisi politik di Indonesia dibangun atas dasar ideologi. Faktanya, tidak demikian. Koalisi politik di Indonesia lebih mengikuti kekuasaan ketimbang ideologi. Koalisi besar yang ramai diberitakan menjelang pemilu—seperti KIM Plus atau Koalisi Merah Putih—sering tampak solid di media, tetapi sejarah menunjukkan koalisi seperti itu jarang bertahan lama.
Kedua, sejak 2014 presiden dipilih langsung oleh rakyat, sekaligus menjadi kepala pemerintahan. DPR tidak bisa memberhentikan presiden kecuali lewat impeachment, yang prosesnya sangat jarang dan sulit. Artinya, oposisi hanya ada secara teoritis. Dalam praktiknya, karena Indonesia bukan sistem parlementer, masa jabatan presiden hampir pasti aman lima tahun penuh, dan partai-partai pun cenderung menyesuaikan diri dengan siapa pun yang berkuasa.
Ketiga, banyak yang salah paham seolah ada pembagian tanggung jawab yang jelas antara DPR dan pemerintah. Faktanya, para wakil rakyat dan perwakilan pemerintah sama-sama berusaha mempertahankan posisi mereka. Jadi, kalau mau memahami risiko politik di Indonesia, jangan hanya melihat voting akhir di DPR. Perhatikan bagaimana kedua pihak itu bekerja sama sejak awal proses legislasi.
Keempat, ada anggapan bahwa pemerintahan daerah di Indonesia berjalan seperti sistem federal. Itu keliru. Indonesia adalah negara kesatuan, provinsi-provinsinya tetap berada di bawah satu pemerintah pusat. Setelah merdeka tahun 1945, para pemimpin bangsa khawatir federalisme justru memecah belah. Karena itu, dipilihlah bentuk negara kesatuan. Di era Soeharto, hampir semua hal dikendalikan dari Jakarta. Namun, setelah kejatuhannya, daerah mendapat ruang lebih besar lewat desentralisasi. Meski demikian, Indonesia tidak pernah menjadi negara federal: pemerintah pusat tetap memegang peran utama, walau pemerintah daerah kini punya otonomi dalam mengelola anggaran dan berbagai layanan publik.
Kelima, ekonomi Indonesia memadukan peran negara dengan mekanisme pasar untuk menopang kesejahteraan sosial. Namun, model ini juga membawa tantangan: BUMN mendominasi sektor-sektor penting sehingga membatasi kompetisi, sementara pemerintah menguasai sumber daya alam. Hasilnya, negara punya pengaruh besar terhadap keputusan bisnis, baik di tingkat lokal maupun internasional.
Lima poin ini menyingkap beberapa kesalahpahaman terbesar yang sering saya temui. Setelah memahami itu, politik dan bisnis di Indonesia akan jauh lebih masuk akal. Tapi ini baru permulaan. Kalau ingin menggali lebih dalam tentang politik Indonesia, ikuti terus saya.





















