Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI)
Jakarta – Apa hubungannya Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan Monosodium Glutamate (MSG) atau vetsin yang menjadi salah satu penyebab penyakit kanker?
Coba bertanyalah kepada Muhaimin Iskandar. Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat itu pasti akan bisa menjawabnya. Menurut Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu, MBG merupakan solusi atau jawaban agar anak-anak tidak mengonsumsi MSG.
MSG memang sering ditambahkan pada menu-menu makanan atau jajanan anak sekolah seperti bakso, mie ayam, seblak, bubur ayam dan sebagainya sebagai penyedap rasa. Namun penambahan MSG itu tidak mutlak. Pembeli bisa minta ke penjual agar tidak menambahkan MSG pada menu makanan yang dibeli.
Pertanyaannya, apakah menu makanan yang disajikan dalam program MBG tidak mengandung MSG? Kalau memang tidak mengandung MSG, lalu bagaimana bisa ribuan anak-anak mengalami keracunan massal?
Andaikan tidak mengandung MSG pun, ternyata menu MBG lebih berbahaya. Sebab sudah hampir puluhan ribu anak-anak keracunan. Kasus terbesar terjadi di Bandung Barat, Jawa Barat.
Cak Imin sepertinya melakukan simplifikasi: MBG adalah solusi mengurangi anak mengonsumsi MSG. Padahal itu tidak mutlak. Jika mau jajan di sekolah bisa saja anak-anak pesan ke penjualnya agar menu makanannya tidak dibubuhi MSG.
Cak Imin sepertinya tidak mempertimbangkan kasus keracunan MBG lebih fatal daripada MSG.
Setali tiga uang, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan pun melakukan simplifikasi: keracunan MBG terjadi karena anak-anak belum terbiasa. Kok bisa?
Apakah anak-anak sekolah hendak dijadikan kelinci percobaan? Apakah sampai ada yang tewas menjadi korban lalu program MBG dihentikan?
Dengan anggaran yang hanya Rp10.000 per porsi, lalu menu bergizi semacam apa yang bisa disajikan?
Apakah pemilik dapur tidak mengambil keuntungan? Jangan-jangan makanan yang sampai ke anak-anak penerima manfaat cuma setengahnya saja harganya.
Di sisi lain, banyak politikus atau anggota DPR yang memiliki dapur penyedia MBG. Apakah karena itu lantas Cak Imin, dan juga Zulkifli Hasan yang merupakan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) membela program MBG dengan mengesampingkan efek samping yang bisa mematikan?
Mengapa MBG tidak diberikan langsung tunai saja kepada para penerima manfaat, sehingga mereka bisa membeli atau memasak makanan sendiri yang lebih enak dan bergizi?
Ajang Bancakan
Berdasarkan fenomenanya, program MBG ini patut diduga sebagai ajang bancakan penguasa dan mereka yang punya akses ke kekuasaan. Misalnya anggota DPR yang punya dapur MBG.
Indikatornya? Pertama, meskipun banyak menimbulkan masalah, terutama masalah kesehatan, namun program MBG tidak dihentikan, pun untuk sementara. Pemerintah justru menyederhanakan masalah.
Kedua, banyak anggota DPR yang memiliki dapur MBG. Sebab itu, dalih pemerintah untuk memberdayakan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ternyata cuma isapan jempol belaka. MBG dikuasai mereka yang punya modal. Modal politik dan modal finansial.
Ketiga, pemerintah menolak program MBG ini diberikan langsung tunai kepada anak-anak penerima manfaat. Sebab dengan menu makanan langsung, mereka bisa berburu cuan. Mereka bisa berburu rente.
Dus, dalih MBG sebagai solusi mencegah atau mengurangi anak-anak mengonsumsi MSG hanyalah kamuflase belaka. Yang sesungguhnya terjadi adalah para elite berburu rente.
Anggaran MBG Rp71 triliun tahun ini saja sungguh teramat menggiurkan. Berburu rente jadi kesempatan. Jika ada korban meninggal, mungkin itu akan dikatakan sebagai kebetulan. Itulah pemerintah rezim omon-omon.

Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik Konsultan & Survei Indonesia (KSI)





















