Pemerintahan Jokowi dikenal sebagai salah satu era politik yang sarat dengan digitalisasi dan pemanfaatan media sosial secara masif. Dalam lanskap komunikasi politik modern ini, keberadaan buzzer menjadi salah satu elemen kunci yang menentukan arah narasi publik. Namun, fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa pemerintahan Jokowi begitu bergantung pada buzzer, dan bagaimana hal ini kontras dengan pendekatan era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto?
Buzzer: Senjata Narasi di Era Digital
Pada pemerintahan Jokowi, buzzer muncul sebagai aktor utama dalam membentuk opini publik. Mereka beroperasi di media sosial untuk menciptakan citra positif tentang Jokowi dan kebijakannya, sekaligus menyerang pihak-pihak yang dianggap lawan politik. Dalam skala tertentu, mereka bukan hanya penyebar informasi, tetapi juga alat propaganda yang membentuk realitas alternatif di dunia maya.
Peran buzzer menjadi penting karena masyarakat kini lebih banyak mengakses informasi melalui media sosial dibandingkan media konvensional. Namun, peran mereka sering kali menuai kritik karena banyaknya penyebaran hoaks, manipulasi informasi, dan serangan personal yang dilakukan atas nama pemerintah atau pihak-pihak tertentu.
Kontradiksi dengan Era Soeharto
Jika dibandingkan dengan era Soeharto, pendekatan yang diambil untuk mengontrol narasi publik sangat berbeda. Pada masa Orde Baru, Soeharto lebih memilih menggunakan orang-orang terdidik, seperti profesor dan doktor dari universitas terkemuka, untuk menciptakan narasi yang mendukung pemerintah. Tokoh-tokoh akademik ini tidak hanya menjadi corong kebijakan pemerintah, tetapi juga memberikan legitimasi intelektual terhadap berbagai kebijakan melalui publikasi ilmiah, pidato, atau seminar.
Pendekatan Soeharto terkesan lebih terstruktur, berbasis keilmuan, dan menyasar kalangan elite sebagai target audiensnya. Sebaliknya, di era Jokowi, narasi lebih sering dibangun melalui pendekatan populis yang menyasar masyarakat awam. Buzzer, yang kerap dipandang sebagai kelompok “gelandangan digital,” mengandalkan strategi serangan langsung yang emosional dan sensasional untuk membangun citra atau menghancurkan kredibilitas lawan.
Dinamika yang Memperkuat Peran Buzzer
Ada beberapa faktor yang membuat buzzer begitu relevan dalam pemerintahan Jokowi:
- Media Sosial sebagai Medan Perang Baru: Di era digital, informasi bergerak dengan sangat cepat. Media sosial menjadi ruang utama bagi pemerintah untuk menjangkau masyarakat luas dengan biaya rendah.
- Kemudahan Aksesibilitas: Berbeda dengan era Soeharto yang membutuhkan mekanisme birokrasi untuk menyebarkan propaganda, buzzer era Jokowi bisa langsung menjangkau jutaan orang hanya dengan beberapa klik.
- Target yang Berbeda: Soeharto berfokus pada membentuk opini kalangan elite, sementara Jokowi berupaya menciptakan keterhubungan emosional dengan rakyat biasa melalui narasi yang sederhana dan mudah dicerna.
Masalah Etis dan Dampaknya
Namun, keberadaan buzzer juga menimbulkan masalah serius. Penggunaan buzzer secara masif kerap kali dianggap merusak demokrasi karena menciptakan polarisasi yang tajam di masyarakat. Tindakan mereka yang sering menyerang pribadi lawan politik, menyebar kebencian, atau memanipulasi informasi telah memperburuk kualitas diskursus publik.
Sebaliknya, di era Soeharto, meskipun kontrol terhadap narasi juga ketat, cara yang digunakan lebih mengedepankan kesopanan akademik dan tidak terlalu vulgar dalam menyerang lawan. Ini menciptakan kesan bahwa pemerintahan memiliki tingkat intelektualitas yang lebih tinggi, meskipun tetap otoritarian.
Kesimpulan
Perbedaan mencolok antara pasukan narasi Soeharto dan Jokowi mencerminkan perubahan zaman dan strategi komunikasi politik. Jika era Soeharto menggunakan akademisi untuk membangun legitimasi intelektual, era Jokowi justru memanfaatkan buzzer yang sering kali tidak memiliki kredibilitas akademik, tetapi efektif dalam membentuk opini publik dengan cara instan.
Namun, keberadaan buzzer menunjukkan ironi besar: pemerintahan yang mengklaim dekat dengan rakyat justru melibatkan aktor yang memperkeruh suasana demokrasi. Dalam konteks ini, penting untuk mempertanyakan apakah keberhasilan membangun citra dan menyerang lawan dengan cara-cara seperti ini benar-benar mencerminkan pemerintahan yang kuat, atau justru memperlihatkan kelemahan dalam menghadapi kritik secara substantif.