Oleh: Asfin Situmorang, Pegiat Demokrasi dan HAM Setara Institute
Jakarta, Fusilatnews – Pasca-pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2024-2029 pada 20 Oktober 2424 nanti, sebagai pemegang kekuasaan eksekutif keduanya berkewajiban memulihkan nasib bangsa dan negara Indonesia dari berbagai kebobrokan yang ditinggalkan rezim lama, Presiden Joko Widodo yang tak lain ayah Gibran sendiri.
Paling tidak ada empat hal mendesak dan urgen yang harus dilakukan oleh pemerintahan baru Prabowo-Gibran.
Pertama, Prabowo-Gibran mesti mengambil langkah cepat untuk memulihkan demokrasi yang telah rusak dengan mengedepankan prinsip supremasi sipil, di mana kedaulatan ada di tangan rakyat.
Kedua, Prabowo-Gibran mesti memberikan ruang kepastian hukum tanpa ada lagi intervensi penguasa. Instrumen hukum mesti dikembalikan sebagai “panglima” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan lagi sebagai alat kekuasaan.
Ketiga, demokrasi kesejahteraan mesti diwujudkan Prabowo-Gibran sampai ke “piring-piring” rakyat, bukan cuma menguntungkan segelintir orang/kelompok/golongan tertentu.
Keempat, Prabowo-Gibran segera mengakomodir suara publik atas desakan dan tuntutan hukum atas kejahatan yang ditinggalkan rezim Jokowi, baik kejahatan di aspek hukum, konstitusi, ekonomi, maupun demokrasi.
Akomodasi terhadap tuntutan mengadili Jokowi dan kroni-kroninya menjadi sangat penting sebagai “good will” (kemauan baik) dan “political will” (kemauan politik) bahwa pemerintahan baru Prabowo-Gibran terbebas dari rezim yang kotor dan korup.
Mungkinkah dilakukan pengadilan terhadap Jokowi, sedangkan di samping Presiden Prabowo ada Wapres Gibran yang merupakan anak kandung Jokowi?
Mungkin saja. Sebab secara konstitusional kekuasaan tertinggi di eksekutif berada di tangan Presiden, bukan Wapres. Itu kalau Prabowo mau mengambil jarak dan memutus mata rantai rezim Jokowi, dan Prabowo bukan sekadar boneka dari Jokowi.
Diketahui, menjelang akhir masa jabatan pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin, demokrasi di Indonesia benar-benar dirusak melalui intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) oleh “invisible hand” (tangan tak kelihatan) yang diduga milik Presiden Jokowi, sehingga MK yang saat itu diketuai Anwar Usman, adik ipar Jokowi, mengeluarkan Putusan No 90/PUU-XXI/2023 yang memberikan karpet merah kepada Gibran yang baru berusia 36 tahun mendaftar sebagai cawapres di Pilpres 2024 hanya karena dia sedang menjabat Walikota Solo, Jawa Tengah.
Itu di ranah politik. Di ranah hukum, kasus-kasus dugaan korupsi yang menyangkut keluarga Jokowi juga mulai bermunculan.
Di antaranya dugaan suap Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang melibatkan Gubernur Maluku Utara saat itu Abdul Gani Kasuba.
Dalam persidangan kasus tersebut, nama putri Jokowi, Kahiyang Ayu dan suaminya yang juga Walikota Medan, Sumatera Utara, Bobby Nasution disebut-sebut mendapat IUP yang disebut dengan istilah Blok Medan.
Putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep bersama istrinya Erina Gudono juga berkelindan dengan dugaan gratifikasi fasilitas jet pribadi saat mereka melancong ke Amerika Serikat pada 20 Agustus 2024.
Kini bola liar dugaan gratifikasi Kaesang-Erina ada di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menjadi kewajiban Prabowo sebagai Presiden nanti untuk mendorong KPK serius mengusut kasus tersebut, apalagi akhir Desember nanti Pimpinan KPK sudah berganti dengan yang baru sehingga tidak terikat lagi secara psikologis dengan rezim Jokowi.