Banyak yang salah paham tentang tanggal 20 Oktober 2024, di mana acara tersebut sering dianggap sebagai “pelantikan” Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun, menurut aturan yang telah diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Dasar 1945, istilah yang tepat bukanlah pelantikan oleh MPR, melainkan pengambilan sumpah atau janji oleh Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih. Proses ini memiliki makna simbolis dan konstitusional yang sangat penting dalam memastikan bahwa pejabat eksekutif tertinggi di Indonesia akan menjalankan tugasnya sesuai dengan amanah konstitusi.
Pasal 9 UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden harus bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam konteks ini, peran MPR atau DPR adalah sebagai saksi atas kesungguhan janji atau sumpah tersebut, bukan sebagai pihak yang melantik atau mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
Berikut adalah teks sumpah yang harus diucapkan oleh Presiden dan Wakil Presiden:
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala Undang-undang dan Peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Atau jika berbentuk janji:
“Saya berjanji akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala Undang-undang dan Peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Jika pada saat itu MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang, Pasal 9 ayat 2 menjelaskan bahwa sumpah atau janji tersebut tetap harus dilakukan, namun di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Ini menegaskan bahwa prosesi pengambilan sumpah tidak bergantung sepenuhnya pada kehadiran atau sidang penuh dari lembaga-lembaga tersebut, tetapi lebih pada proses formal dan konstitusional yang wajib dilaksanakan.
Perubahan penting terjadi setelah UUD 1945 diamendemen sebanyak empat kali. Salah satu implikasi dari amandemen tersebut adalah perubahan posisi kelembagaan antara Presiden, MPR, dan DPR. Jika dahulu MPR memiliki kewenangan untuk memilih dan memberhentikan Presiden, kini fungsi itu telah bergeser. Presiden dan DPR kini berada pada posisi yang sejajar dalam sistem pemerintahan presidensial. Dengan demikian, proses pengambilan sumpah di hadapan MPR atau DPR bukanlah bentuk superioritas MPR atas Presiden, melainkan lebih pada fungsi ceremonial dan simbolis yang tetap mempertahankan esensi konstitusional.
Kesalahpahaman yang berkembang di masyarakat terkait dengan istilah “pelantikan” oleh MPR perlu diluruskan. Proses ini adalah bagian dari mekanisme konstitusional di mana Presiden dan Wakil Presiden menyatakan komitmen mereka di hadapan rakyat Indonesia, melalui lembaga-lembaga tinggi negara. Penting juga untuk dipahami bahwa sejak amandemen UUD 1945, posisi lembaga-lembaga tinggi negara termasuk MPR, DPR, dan Presiden berada dalam hierarki yang setara. Tidak ada lagi mekanisme di mana MPR memiliki kekuasaan mutlak atas Presiden, seperti yang berlaku sebelum amandemen.
Sebagai penutup, tanggal 20 Oktober nanti bukanlah “pelantikan” dalam arti sebenarnya, melainkan upacara pengambilan sumpah atau janji oleh Presiden dan Wakil Presiden di hadapan lembaga-lembaga negara sesuai amanat Pasal 9 UUD 1945. Ini adalah simbolisasi yang kuat dari komitmen eksekutif tertinggi bangsa untuk menjalankan tugasnya dengan mematuhi hukum, konstitusi, dan nilai-nilai moralitas yang dianut oleh bangsa Indonesia. Proses ini juga mengingatkan kita akan pentingnya supremasi hukum dan tanggung jawab moral para pemimpin bangsa.