Fusilatnews – Pernyataan keras dari aktivis NU di Kalimantan Selatan itu bukan sekadar luapan emosi, melainkan sebuah tamparan moral bagi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Kasus dugaan korupsi haji yang menyeret nama Yaqut Cholil Qoumas—mantan Menteri Agama sekaligus adik Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf—telah menimbulkan kegelisahan luas, baik di kalangan jamaah maupun di tubuh Nahdlatul Ulama sendiri.
Bagi umat Islam, haji adalah puncak ibadah yang suci, dirindukan, dan diperjuangkan dengan pengorbanan bertahun-tahun. Karena itu, praktik memperjualbelikan kuota haji adalah pengkhianatan terhadap keadilan sosial dan spiritual umat. Ia melukai hati mereka yang sabar menunggu antrean panjang, sementara kuota bisa diperdagangkan oleh pihak tertentu demi keuntungan.
Kegelisahan kian dalam ketika muncul dugaan bahwa hasil dari praktik korupsi tersebut tidak hanya mengalir ke kantong pribadi, tetapi juga masuk ke kas organisasi. Jika benar aliran dana itu sampai menyentuh tubuh NU, maka luka moral ini menjadi jauh lebih serius. NU yang selama ini menjadi benteng etika dan penjaga nilai keumatan, justru dipertaruhkan reputasinya oleh ulah segelintir elit yang menjadikan organisasi sebagai tameng.
Di titik inilah PBNU diuji. Apakah ia akan berani bersikap transparan dan melakukan audit internal, atau memilih bungkam demi menyelamatkan citra jangka pendek? Membela tanpa reserve, apalagi dengan dalih kekeluargaan, justru berpotensi menyeret NU ke dalam krisis kepercayaan. Publik akan menilai NU tidak lebih dari sekadar organisasi yang tunduk pada kepentingan elit, alih-alih menjadi penjaga moral umat.
Karena itu, tuntutan pun muncul dari sejumlah kalangan agar Yahya Cholil Staquf turun dari jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU. Ia dianggap tidak lagi layak memimpin organisasi di tengah badai kasus yang menyeret adiknya sendiri. Relasi kekeluargaan itu dinilai terlalu membebani, membuatnya sulit bersikap objektif dan menimbulkan kesan PBNU dikendalikan oleh kepentingan keluarga.
Diam bukan pilihan. Sikap paling tepat adalah mendukung penuh upaya penegakan hukum, membuka diri terhadap pemeriksaan, bahkan jika perlu melakukan restrukturisasi kepemimpinan agar NU kembali berdiri sebagai organisasi independen dan bersih dari konflik kepentingan. NU harus menunjukkan bahwa ia tidak kompromi terhadap praktik korupsi, sekalipun menyangkut tokoh internal atau aliran dana ke organisasi.
Kasus ini memang mencoreng umat Islam dan NU, tetapi juga bisa menjadi momentum pembaruan moral. Bila PBNU berani bersikap jujur, transparan, dan tegas—bahkan sampai pada langkah mengganti kepemimpinan—NU justru akan tampil sebagai organisasi yang berani membersihkan dirinya sendiri. Namun bila ia memilih bungkam, maka sejarah akan mencatat: di hadapan uang dan kuasa, bahkan benteng moral umat pun bisa runtuh.























