Fusilatnews – Pasca demonstrasi besar-besaran pada Agustus lalu, publik Dunia kembali diguncang dengan video tragis: bagaimana seorang driver ojek online bernama Afan Kurniawan meninggal dunia setelah dilindas mobil aparat saat aksi berlangsung. Peristiwa ini menyulut simpati luas, bahkan melampaui batas geografis. Demo dan Tagar Pray for Indonesia menjadi viral di sejumlah negara, dan menjadi cermin bahwa persoalan hak asasi manusia di Indonesia tetap menjadi sorotan global.
Namun, di balik sorotan itu, ada ironi yang tidak bisa dihindari: nama Presiden Prabowo Subianto. Dunia internasional punya memori panjang tentang figur ini, terutama terkait catatan kelam tahun 1998—era di mana pelanggaran hak asasi manusia, penculikan aktivis, dan represi menjadi peristiwa yang hingga kini masih menyisakan luka. Meski Prabowo kini tampil sebagai kepala negara, sejarah tersebut tak bisa begitu saja dihapus dari ingatan publik global.
Kematian Afan Kurniawan dalam konteks aksi Agustus lalu mempertegas bahwa persoalan lama kembali menghantui: kekerasan aparat terhadap warga sipil. Dunia tentu tidak hanya melihat kasus ini sebagai insiden tunggal, melainkan dalam bingkai historis yang melekat pada sang presiden. Maka, tantangan besar Prabowo bukan sekadar soal membangun citra kepemimpinan di dalam negeri, melainkan juga membangun trust publik internasional—bahwa ia bukan sekadar bayangan gelap dari masa lalu yang masih menempel.
Lebih dari sekadar angka statistik korban, Afan Kurniawan adalah simbol rakyat kecil yang berjuang demi keluarga. Seorang driver ojol yang kesehariannya menjemput rezeki di jalan, kini menjadi korban kebrutalan negara yang semestinya melindunginya. Tragedi ini seakan menegaskan jurang antara rakyat biasa dengan kekuasaan: yang lemah mudah menjadi korban, sementara yang kuat terus mencari legitimasi. Dalam konteks inilah, nama Afan bukan hanya sebuah catatan tragis, tetapi juga cermin kegagalan negara dalam menegakkan keadilan sosial.
Apalagi, di era keterbukaan informasi, rekam jejak sejarah tidak bisa ditutupi dengan narasi pembangunan ekonomi atau jargon nasionalisme belaka. Globalisasi menuntut transparansi, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dunia ingin melihat bukti, bukan sekadar kata-kata.
Karena itu, Prabowo dihadapkan pada pilihan tegas: membiarkan sejarah kelam terus menjadi stigma yang menghantui kepemimpinannya, atau melakukan langkah nyata yang menunjukkan keberpihakan pada demokrasi dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Kasus Afan bisa menjadi titik balik—atau justru menjadi penguat citra lama yang melekat.
Jika Prabowo benar-benar ingin mengubah opini publik dunia, ia harus berani do something: memastikan aparat tidak lagi bertindak represif, membuka ruang keadilan bagi korban, dan menunjukkan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinannya bukanlah negara yang kembali ke pola lama. Tanpa itu semua, bayang-bayang 1998 akan terus menempel, menjadikan setiap tragedi baru sekadar pengingat bahwa sejarah belum selesai dituntaskan.























