Jakarta – Fusilatnews – Di akhir pemerintahan pimpinan Joko Widodo alias Jokowi serangkaian klaim keberhasilan pembangunan terutama pembangunan infrastruktur namun sejumlah fakta mencerminkan sebaliknya.
Semakin rendahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang utama Dunia maraknya PHK, menurunnya populasi kelas menengah, setidaknya membantah klaim itu
Ekonom senior sekaligus praktisi keuangan dan investasi, Adrian Panggabean, merangkum sejumlah masalah selama satu dekade Indonesia dipimpin oleh Joko Widodo. “Dari tidak ada kemajuan, kemajuan yang kecil, hingga ketidakmampuan untuk memanfaatkan potensi negara,” demikian dipaparkan Adrian lewat pernyataan tertulis
Pertama adalah di pasar saham yang mencerminkan dinamika di lapangan dari sektor keuangan dan sektor riil, menurut dia kondisinya kurang menarik. Indeks Harga Saham Gabungan pada masa awal Jokowi menjabat yakni Oktober 2024 parkir di 5.068, pada penutupan perdagangan pekan ini IHSG di level 7.760.
Kedua adalah stagnasi pertumbuhan produk domestik bruto. Jika ditotal rata-rata pertumbuhan ekonomi RI selama 10 tahun berada di kisaran 3,85 persen. Perekonomian memang sempat dihantam pandemi pada 2019 dan 2020. Hingga triwulan III 2024, ekonomi RI tumbuh sebesar 5,1 persen.
Selanjutnya suku bunga deposito di bank yang tinggi. Perkembangan kredit melemah karena suku bunga acuan hanya turun 170 basis poin. Poin keempat adalah rasio pajak yang menurut Adrian tidak ada perkembangan sama sekali.
Kelima nilai tukar rupiah juga anjlok, Adrian menyebut kondisi ini sebagai penurunan terburuk dalam 25 tahun terakhir. Selama satu dekade, rupiah paling kuat di level Rp 11.600 per dolar Amerika Serikat dan sempat menyentuh level terendah Rp 17.000 per dolar AS. “Selama masa kepresidenan Jokowi, nilai mata uang turun sekitar 40 persen, sebuah penurunan yang sangat suram,” ujarnya.
Terakhir adalah peringkat surat utang negara. Lembaga pemeringkat dunia memberi rating BBB pada obligasi RI, artinya memiliki kapasitas yang memadai untuk memenuhi komitmen keuangan, tetapi rentan terhadap fluktuasi kondisi perekonomian. Adrian memaparkan kondisi ini berarti tidak ada kemajuan sama sekali.
Kritik juga datang dari Ekonom dari lembaga riset Bright Institute, Awalil Rizky. Dia mengatakan meski cadangan devisa RI tercatat naik, namun kenaikannya tipis di era Jokowi. “Era SBY cadangan devisa naik tiga kali lipat,” ujarnya.
Cadangan devisa memang bertambah, namun menurut dia rupiah justru melemah, hal ini menunjukkan memang ada masalah. Awalil juga menyatakan sederet target yang tidak terpenuhi seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang sedikit akibatnya utang membengkak.
Jokowi memulai masa jabatan pada 2014, dengan utang warisan dari Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebesar Rp 2.608,7 triliun. Berdasarkan Laporan Kinerja APBN yang dikeluarkan Kementerian Keuangan hingga akhir September, utang pemerintah telah menembus Rp 8.641 triliun.