Fusilatnews – Pernyataan Pramono Anung dalam perayaan ulang tahun ke-75 Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) bahwa ia ingin menjadi “pemimpin bagi semua agama, golongan, kelompok, dan etnis” terdengar merdu di telinga publik. Namun bagi sebagian warga Jakarta yang cermat, terutama mereka yang mengikuti dinamika kepemimpinan sebelumnya, pernyataan ini terasa seperti gema yang datang terlambat—atau dalam bahasa yang lebih jujur, “too late and not the crucial issue anymore”, mengutip istilah yang ia gunakan sendiri dalam konteks lain.
Mengapa terlambat? Karena Jakarta pernah memiliki seorang gubernur yang membuktikan prinsip inklusivitas tanpa perlu gembar-gembor janji atau retorika normatif. Ia adalah Anies Baswedan. Tanpa banyak publikasi, tanpa seremonial politik, Anies membuka jalan pembangunan rumah-rumah ibadah lintas agama—gereja, kelenteng, vihara—yang selama bertahun-tahun terbengkalai akibat birokrasi yang diskriminatif dan tekanan kelompok intoleran. Ia tidak menunggu panggung ulang tahun lembaga keagamaan untuk mengumumkan niat baiknya; ia mewujudkannya dalam keputusan-keputusan konkret yang memulihkan keadilan ruang beragama di Ibu Kota.
Dalam konteks ini, pernyataan Pramono tampak seperti usaha mengejar narasi yang sudah usang. Kebutuhan Jakarta hari ini bukan lagi sekadar pernyataan komitmen terhadap toleransi, melainkan pembuktian nyata atas keberpihakan pada pluralisme yang setara. Dan jika tolok ukur itu digunakan, maka Anies telah melampaui Pramono—tanpa perlu forum FKUB atau retorika merangkul semua golongan.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang hendak dibentuk oleh Pramono juga patut dipertanyakan efektivitasnya. Di masa lalu, FKUB sering kali menjadi alat administratif yang justru memperlambat izin pendirian rumah ibadah minoritas. Alih-alih menjadi fasilitator kerukunan, FKUB dalam praktiknya sering terjebak dalam kompromi politik mayoritas. Apa jaminan bahwa forum versi Pramono tidak akan mengulang pola yang sama?
Kemudian, ada pula klaim bahwa sejumlah persoalan keagamaan telah diselesaikan namun “tidak perlu dipublikasikan”. Pernyataan ini ambigu. Jika tidak dipublikasikan, bagaimana publik bisa menilai kinerjanya? Jika ingin merendah, mengapa justru menyampaikan bahwa dirinya telah menyelesaikannya? Kerendahan hati dan komunikasi publik tidak harus saling meniadakan, justru bisa bersinergi jika disampaikan dengan transparansi dan akuntabilitas.
Bandingkan ini dengan gaya Anies Baswedan yang dalam banyak hal tidak menepuk dada. Di masa kepemimpinannya, gereja Kristen Protestan di Krukut—yang izin pembangunannya mangkrak selama 17 tahun—akhirnya bisa berdiri. Tanpa perlu memonopoli narasi toleransi, ia menyelesaikan masalah dengan pendekatan hukum dan rasa keadilan.
Akhirnya, pernyataan Pramono bukanlah sesuatu yang salah. Namun ia datang terlalu terlambat, dan ia tidak menjawab kebutuhan mendasar warga Jakarta saat ini. Yang dibutuhkan bukan sekadar pemimpin yang “ingin merangkul semua”, tapi pemimpin yang sudah dan terus merawat keragaman tanpa perlu menunggu sorotan kamera. Dalam hal ini, sejarah akan mencatat: Anies sudah lebih dahulu melangkah, sementara Pramono baru berbicara.