FusilatNews – Dalam satu pernyataan yang mencuat ke permukaan, pemerintahan Prabowo Subianto menyatakan niat untuk menghapus sistem outsourcing. Bagi jutaan buruh Indonesia, ini bukan sekadar kabar baik—ini adalah harapan yang selama ini terus dipendam dalam diam. Namun di balik euforia awal, pertanyaan yang lebih penting justru muncul: mungkinkah janji ini diwujudkan, atau hanya akan berakhir sebagai retorika politik yang usang?
Praktik outsourcing di Indonesia telah berlangsung selama dua dekade lebih. Ia dibungkus dengan alasan efisiensi dan fleksibilitas tenaga kerja, namun dalam praktiknya melahirkan ketidakpastian, eksploitasi, dan kerentanan hidup. Pekerja outsourcing hidup di bawah bayang-bayang pemutusan hubungan kerja sewaktu-waktu, upah yang tak menentu, dan minimnya akses terhadap jaminan sosial. Celakanya, praktik ini dilegalkan dan bahkan dimudahkan oleh regulasi seperti Undang-Undang Cipta Kerja.
Di titik inilah penting untuk melihat ke luar jendela negeri dan bercermin pada praktik negara-negara maju. Di Jerman, misalnya, outsourcing tidak boleh dilakukan untuk pekerjaan inti (core business) dan harus dibatasi durasinya. Regulasi ketat memastikan bahwa pekerja kontrak tetap mendapat upah layak, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang manusiawi. Negara seperti Perancis dan wilayah Skandinavia pun serupa: perlindungan terhadap pekerja adalah pilar utama yang tak bisa digadaikan atas nama efisiensi.
Outsourcing di negara-negara ini dibatasi hanya untuk sektor-sektor non-inti seperti kebersihan, keamanan, IT support, dan logistik. Pekerjaan yang berkaitan dengan riset, manufaktur presisi, atau layanan publik tidak boleh dialihkan begitu saja kepada pihak ketiga. Mereka sadar bahwa kualitas dan tanggung jawab jangka panjang mustahil dipertahankan jika diserahkan kepada hubungan kerja yang rapuh.
Yang juga tak kalah penting: kekuatan serikat buruh. Di negara maju, serikat pekerja tidak hanya menjadi penjaga hak-hak buruh, tapi juga kekuatan penekan yang efektif terhadap pemerintah dan perusahaan. Mereka menuntut transparansi dalam setiap perjanjian outsourcing dan memperjuangkan hak-hak pekerja kontrak agar setara dengan pekerja tetap. Tanpa serikat buruh yang kuat, mustahil praktik outsourcing bisa dikendalikan.
Kini, mari kita kembali ke Indonesia. Apakah pemerintahan Prabowo benar-benar siap untuk mengikuti standar ini? Mampukah ia menantang oligarki bisnis yang selama ini menjadikan outsourcing sebagai jalan pintas menekan biaya? Atau, lebih jauh, apakah negara siap menguatkan posisi serikat buruh dan memperbaiki UU Ketenagakerjaan agar lebih berpihak pada pekerja?
Janji menghapus outsourcing adalah janji besar. Namun tanpa keberanian untuk menata ulang sistem kerja nasional dan melawan kepentingan bisnis besar, itu akan tinggal sebagai mimpi di atas kertas. Jika Prabowo sungguh berpihak pada rakyat, langkah awalnya jelas: revisi regulasi yang permisif, perkuat pengawasan, dan beri ruang bagi buruh untuk bersuara. Belajar dari Jerman, Perancis, dan Skandinavia bukan soal meniru, tapi soal menghormati harkat manusia dalam kerja.
Kalau tidak, rakyat akan kembali menjadi korban. Mendengar janji, berharap, lalu kecewa. Seperti biasa.