Jakarta – Dalam perjalanan sejarah Indonesia, utang luar negeri sering kali menjadi isu krusial yang membentuk kebijakan dan hubungan internasional negara ini. Salah satu momen penting dalam konteks ini adalah pembentukan IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) pada tahun 1967, sebuah konsorsium internasional yang dibentuk untuk membantu Indonesia mengatasi utang luar negeri warisan rezim Orde Lama. Namun, peristiwa yang terjadi pada awal 1990-an menunjukkan bahwa bagi Presiden Soeharto, harga diri bangsa tidak dapat dipertukarkan dengan utang, sebuah prinsip yang diuji dalam peristiwa diplomatik dan politik yang penuh gejolak.
Awal Pembentukan IGGI
Pada tahun 1967, Soeharto menghadapi tantangan besar dalam mengelola utang luar negeri yang menumpuk dari era Orde Lama. Dalam upaya untuk menata kembali keuangan negara, Soeharto, bersama timnya yang terdiri dari Sri Sultan Hamengkubuwono dan Adam Malik, melakukan negosiasi dengan para kreditur internasional. Hasil dari negosiasi tersebut adalah pembentukan IGGI, yang anggotanya mencakup negara-negara besar dan lembaga-lembaga internasional seperti Australia, Belgia, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, ADB, UNDP, dan OECD. Pertemuan pertama IGGI diadakan pada 20 Februari 1967 di Amsterdam, menandai awal dari dukungan keuangan yang signifikan bagi Indonesia selama 25 tahun berikutnya.
Krisis IGGI dan Protes Internasional
Namun, hubungan yang harmonis antara Indonesia dan IGGI mulai retak pada tahun 1992. Penyebab utama ketegangan ini adalah peristiwa Tragedi Santa Cruz di Timor Timur pada November 1991, yang memicu reaksi internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Ketua IGGI pada saat itu, Menteri Kerja Sama Pembangunan Kerajaan Belanda JP Pronk, terlibat dalam peristiwa ini dengan memutuskan untuk menangguhkan bantuan dan pinjaman kepada Indonesia sampai adanya izin untuk inspeksi di Timor Timur.
Kwik Kian Gie, dalam memoarnya *Menelusuri Zaman*, mengungkapkan bahwa Pronk, setelah mendengar laporan mengenai situasi di Timor Timur, mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia yang menyatakan penangguhan bantuan. Tindakan ini memicu kemarahan Soeharto, yang melihat langkah tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap kedaulatan dan harga diri bangsa. Soeharto memerintahkan untuk membubarkan IGGI dan mencoba membujuk untuk mempertahankan konsorsium tersebut dengan perubahan ketua dari Belanda menjadi Bank Dunia.
Solusi dan Diplomasi
Radius Prawiro, sebagai Menteri Koordinator Ekonomi saat itu, segera bergerak untuk mencari solusi. Dengan bantuan Kwik Kian Gie, Prawiro bernegosiasi dengan Perdana Menteri Belanda Ruud Lubbers, yang memiliki hubungan pribadi dengan Kwik dan latar belakang pendidikan yang sama. Pertemuan di Hotel De Lafayette, Paris, menghasilkan kesepakatan untuk menggantikan IGGI dengan Consultative Group of Indonesia (CGI), di bawah kepemimpinan Bank Dunia.
Lubbers, yang dikenal sebagai perdana menteri Belanda termuda dan terlama, menerima nasihat dari Kwik untuk bersikap sangat pasif dan merendahkan diri saat bertemu Soeharto di markas PBB. Pendekatan ini dianggap penting untuk menjaga hubungan diplomatik dan memulihkan kepercayaan.
Kesimpulan
Kasus ini menegaskan bahwa bagi Soeharto, harga diri bangsa adalah sesuatu yang tidak bisa dinegosiasikan. Meskipun utang luar negeri adalah beban berat, Soeharto memilih untuk mengorbankan IGGI daripada menerima penghinaan terhadap kedaulatan nasional. Langkah ini menunjukkan bahwa dalam diplomasi dan hubungan internasional, harga diri dan kedaulatan negara sering kali lebih penting daripada keuntungan finansial jangka pendek. Keputusan Soeharto untuk memprioritaskan harga diri bangsa atas utang luar negeri menggambarkan betapa pentingnya integritas dan kedaulatan dalam kebijakan luar negeri dan hubungan internasional.