Oleh: Mahdi Djakakata Putra
Di tengah hiruk pikuk Jakarta yang terus bergeser, ada satu titik yang dulu begitu subur dan makmur: Condet. Daerah ini dulunya dikenal sebagai penghasil salak, duku, melinjo, kecapi, dan makanan khas Betawi seperti opak. Hasil bumi yang sederhana tapi cukup untuk mengantar warganya menunaikan ibadah haji. Namun kini, cerita itu tinggal kenangan. Salak berganti ruko, dan ONH digantikan surat kuasa jual tanah.
Dalam suasana penuh nostalgia dan haru, DR. M. Nor Kertapati, seorang tokoh Betawi keturunan Arab yang juga dosen Universitas Nasional, menjadi tuan rumah pengajian Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) di kediamannya, Jalan M. Izi, Condet, Jakarta Timur, pada 3 Mei 2025. Acara tersebut juga menjadi momentum menyambut Hari Bangkit PII yang diperingati setiap 4 Mei.
Dalam sambutannya, Bang M. Nor—begitu ia akrab disapa—mengisahkan perjalanannya dari Sumatera Utara ke Jakarta pada tahun 1969. “Dulu hujan nyeker ke DKI, masuk HMI, jadi dosen,” kenangnya. Ia menggambarkan bagaimana hasil bumi Condet bukan hanya menghidupi, tapi juga mengangkat martabat warganya. “Dulu hasil salak, duku, melinjo bisa jadi nafkah hingga ke tanah suci. Sekarang, demi hidup, warga harus jual tanahnya,” katanya getir.
Bang M. Nor mengenang pula masa kecilnya sebagai aktivis PII sejak SD di Medan, saat PII berhadapan langsung dengan represi PKI. Keluarganya bahkan membuka kantor PII Ranting Ahmad Yani dari rumah mereka. Sepupunya, tokoh-tokoh penting seperti Abdul Hamid, M. Sidik (mantan pimpinan pusat DDII), dan Ibrahim Lubis pernah menjadi incaran PKI.
Kini, meski zaman berubah, semangat juang itu tetap hidup di bawah atap yang sama. Dari rumah sewa sederhana pada 2017, Bang M. Nor dan istrinya, Mufidah Said—alumni FORHATI UGM dan Muslimah Bulan Bintang—mendirikan Yayasan Pendidikan Tanfizul Quran Farhani. Lembaga ini kini memiliki aula tiga lantai yang menampung 20 santri, kebanyakan mahasiswa dan pelajar yang mondok gratis dengan syarat tak merokok dan menghafal Alquran. Tempat itu juga menjadi wadah kaderisasi dakwah dan pembinaan mualaf.
Mantan Pimpinan Persaudaraan Journalist Muslim Indonesia, HM Antony, juga memberikan sambutan yang menyentuh. Ia mengaku banyak tercerahkan dari halaqah dan diskusi di rumah Bang M. Nor. “Ngaji di sini menyadarkan saya, ternyata ilmu saya amat sedikit,” ujarnya. Pengalaman di PII, menurutnya, membuat ia percaya diri hingga kini bisa memimpin PJMI (Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia).
Di tengah krisis identitas yang mendera Jakarta, terutama komunitas asli Betawi, rumah sederhana Bang M. Nor di Condet menjadi oase keislaman dan kebudayaan. Para tokoh yang hadir malam itu—di antaranya Ketua Umum KB PII DKI Amir Hamzah, Suratman dari PJMI, Prof. KH Abdul Wahid Maktub-Mantan Dubes Qatar, serta tokoh-tokoh lain—seakan menyatu dalam sebuah ikhtiar untuk merawat nilai-nilai yang nyaris hilang tergerus beton dan kebisingan kota.
Condet hari ini bukan lagi ladang salak, tapi ladang kenangan. Namun dari pengajian kecil itu, kita bisa belajar bahwa semangat keislaman, keilmuan, dan keberpihakan pada rakyat tak boleh ikut tergadai. Jika tanah bisa dijual, semoga tidak dengan jati diri.