Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Rakyat hanya menang ramai, namun mayoritas publik terbuai dengan pemberitaan di berbagai media sosial. Banyak yang tidak dapat memahami apa itu gratifikasi dan unsur-unsurnya.
Adanya laporan dari individu terhadap Kaesang ke KPK muncul karena banyaknya pertanyaan, “Apakah Kaesang dan istrinya mendapatkan fasilitas gratisan pelesiran naik pesawat jet pribadi sewaan dari Indonesia ke Amerika, sementara di Senayan sedang sibuk memperjuangkan dirinya untuk ikut kompetisi di Pilkada?”
KPK pun segera memberikan pernyataan dan langsung mempublikasikan bahwa “Kaesang bukan pejabat publik” atau dengan kata lain, Kaesang tidak bisa dikenakan pasal gratifikasi merujuk UU Tipikor. Namun, beberapa waktu kemudian KPK berubah sikap, menyatakan akan memanggil Kaesang. Lalu benar, Kaesang dipanggil, tetapi faktanya dia tidak menghadiri panggilan tersebut. Kemudian muncul berita bahwa “Kaesang telah menghilang,” disertai meme-meme lucu di media sosial.
Dari sisi teknis investigasi dan klarifikasi, KPK terbukti tidak serius memeriksa kasus gratifikasi Kaesang. Jika KPK serius, seharusnya bukan Kaesang yang pertama kali dipanggil, melainkan pilot pesawat dan kru maskapai penerbangan, termasuk petugas pelayanan penerbangan, seperti staf pasasi bandara, staf tiketing, operator GSE, dan Flight Operation Officer.
Selanjutnya, KPK harus berlaku profesional dan proporsional. KPK harus berani dan kredibel memanggil serta menginvestigasi pejabat di Ditjen Perhubungan Udara atau Kepala Direktorat Angkutan Udara, sebagai pihak yang menjadi sumber pemberian persetujuan hak terbang dan hak angkut (flight approval).
Jika pilot adalah WNA dan kantor perusahaan maskapainya berada di luar negeri, penyidik KPK dapat menggunakan hukum yang diatur dalam KUHP lama, yakni teori asas nasional pasif, di mana hukum Indonesia berlaku bagi WNA jika merugikan kepentingan nasional (NRI) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 4 KUHP (UU No. 1 Tahun 1946). Karena KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) belum berlaku, penyidik KPK harus bekerja sama dengan interpol.
Model penyelidikan seperti ini seharusnya sudah menjadi SOP sebagai metode penyelidikan tertutup (undercover). Barulah jika sudah mengarah kepada target melalui metode terbuka (overt), KPK bisa melaksanakan tindakan yang transparan sesuai Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan, KUHAP, dan UU Polri.
Jadi, masyarakat gaduh karena Kaesang tidak menghadiri panggilan KPK. Sebab KPK menyerahkan persoalan ini kepada Presiden Jokowi, yang merupakan orang tua Kaesang. Inilah peran KPK sebagai pejabat politik publik.
Semoga masyarakat yang bukan ahli hukum pidana tidak termakan isu KPK yang sedang bersandiwara. Kasus Kaesang pun akan sama, melibatkan orang lain sebagai pihak pemberi gratifikasi dan mungkin saja pamornya akan meredup, digantikan oleh kasus lain yang lebih puitis atau dengan level politis yang lebih tinggi serta media yang lebih hingar-bingar.
Perbedaan antara kasus ini dengan yang lain, seperti Hasto Kristiyanto, terletak pada tindakan KPK yang memanggil Hasto atas perintah Jokowi untuk menundukkan Megawati, sedangkan terhadap Kaesang, KPK tampak menyerahkan segala sesuatunya kepada Jokowi untuk melindungi Kaesang, demi menyelamatkan Jokowi dari pengembangan kasus gratifikasi atau KKN yang melibatkan Kaesang.