Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Gratifikasi dapat terjadi antara individu dengan individu atau antara individu dengan sekelompok orang (kolektivitas). Selain itu, gratifikasi juga bisa melibatkan kelompok dengan kelompok atau lebih dari satu individu, di mana salah satu pihak yang terlibat haruslah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS)/ASN, Pejabat Publik, atau Penyelenggara Negara.
Makna dari Pasal tentang Gratifikasi, menurut Pasal 12b ayat (1) UU RI No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur bahwa gratifikasi adalah pemberian atau hadiah dalam arti luas. Ini meliputi uang, barang, diskon untuk barang-barang mewah atau elektronik (seperti televisi, ponsel, kulkas, AC, kipas angin), perhiasan (seperti kendaraan bermotor, emas, intan, berlian, mutiara), komisi, atau jasa (seperti perawatan tubuh, pijat, layanan seksual), pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan (pesawat, kereta api, kendaraan bermesin), tiket bioskop, dan segala bentuk tiket pertunjukan lainnya. Termasuk di dalamnya adalah fasilitas penginapan dan wisata, pengobatan gratis, dan pemberian material atau imaterial lainnya yang bernilai dari pihak swasta atau korporasi kepada pejabat publik, atau terkait dengan promosi jabatan, baik antar pejabat maupun kepada keluarga pejabat publik tersebut. Semua ini didasari oleh potensi hubungan kepentingan bisnis atau keuntungan antara kedua atau beberapa pihak, atau adanya manfaat yang diharapkan atau telah diperoleh (take and give).
Pembuktian gratifikasi dalam UU Tipikor dilakukan dengan prinsip pembuktian terbalik. Penyidik KPK hanya perlu menanyakan asal-usul barang dan hubungan peruntukannya, dan meminta klarifikasi serta bukti-bukti dari terduga, terinvestigasi, atau tersangka. Dalam hal ini, pemberi dan penerima gratifikasi harus dapat membuktikan bahwa mereka tidak memiliki hubungan kepentingan pekerjaan, jabatan, atau proyek yang harus melalui proses tender atau faktor penunjukan tertentu. Mereka juga harus menunjukkan bahwa pemberian dan penerimaan tersebut bukan merupakan pelanggaran hukum, atau bahwa hubungan mereka hanya bersifat emosional atau kekerabatan.
Contoh gratifikasi yang tidak termasuk dalam jeratan pasal gratifikasi adalah hadiah yang dapat dibuktikan berasal dari keponakan atau kerabat yang pernah tinggal bersama dan dididik, atau dari anak terlantar yang kini telah sukses. Atau, hadiah tersebut diperoleh dari sayembara yang sah, warisan, atau bisnis legal milik pasangan yang telah ada sebelum pernikahan.
Dengan demikian, pasal gratifikasi adalah semi-pembuktian terbalik yang bersifat khusus, yang hanya berlaku dalam konteks hubungan bisnis atau keuntungan antara pihak swasta dengan pejabat publik atau penyelenggara negara. Namun, pasal ini tidak mencakup harta yang jelas-jelas dimiliki pejabat publik, meskipun tidak logis jika dilihat dari penghasilan resmi mereka. Pembuktian gratifikasi hanya bisa dilakukan jika ada indikasi hubungan antara pemberian barang atau jasa dengan tugas atau jabatan pejabat publik tersebut.
Oleh karena itu, gratifikasi adalah bentuk pembuktian hukum terbalik yang sayangnya masih terbatas dalam ruang lingkup yang kecil, meskipun pelanggaran korupsi sering kali bersifat masif dan kasat mata.