Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
Apakah Indonesia negara hukum atau negara ketidakadilan? Secara eksplisit Indonesia adalah negara hukum, akan tetapi praktek Indonesia adalah negara ketidakadilan.
Secara keseluruh bahwa negara ini dikuasai oleh orang-orang yang jauh dari profesionalisme, pragmatis dan munafik. Dampaknya, ruang-ruang kekuasaan hukum pada akhirnya dikuasai oleh orang-orang serakah dan busuk.
Masyarakat dipaksa untuk tunduk pada kekuatan hukum yang dibuat secara diam-diam dan semena-mena, lalu diminta untuk percaya atas kelakuan-kelakuan tak profesional, pragmatis dan munafik tersebut, dan mencari keadilan dari mitos hukum yang tak mungkin didapat.
Kesetaraan didepan hukum adalah cita-cita utama dalam pemikiran hukum modern dan juga menjadi cita-cita prinsip dalam penegakan hukum Indonesia, sehingga konsep ini dianggap menjadi penting dan diatur pada UUD-NRI 1945. Akan tetapi, makna dari keseteraan didepan hukum yang dimaksud oleh konstitusi dasar ini masih kerap kali diartikan secara brutal oleh pemangku kekuasaan dan tidak dianggap penting oleh para pemikir dan guru besar hukum.
Demikian juga kalimat “keadilan sosial bagi seluruh masyarakat” yang dicita-citakan oleh Panca-Sila tak lebih dari sekedar mitos dalam bernegara.
Padahal menentukan makna secara jelas dari dua cita-cita tersebut secara hukum dan keadilan amatlah penting. Karena cita-cita memiliki peran dalam pemahaman dan penentuan batas-batas penerapan hukum.
Kekosongan pemaknaan dari dua cita-cita diatas menyebabkan orang-orang yang tidak profesional, pragmatis dan munafik menjadikan hukum dan keadilan hanya sekedar mitos negara hukum dan Panca Sila dianggap masyarakat sebagai sampah.
Cita-cita negara hukum kerap kali memberikan harapan-harapan indah bagi masyarakat, dan semua harapan-harapan tersebut disampaikan dengan bahasa-bahasa menipu oleh pakar-pakar hukum serta pejabat-pejabat yang manipulatif.
Dalam faktanya, para ahli hukum dan pejabat-pejabat diam saat masyarakat mendapatkan ketidakadilan.
Dalam penerapan hukum pidana contohnya, seorang terperiksa kerapkali mendapatkan perlakuan buruk, intimidasi bahkan disiksa oleh aparat penegak hukum. Dan dapat dibayangkan aparat pelaku kekerasan dan melanggar hukum tersebut sama sekali tidak diaggap persoalan hukum.
Cara berfikir kesetaraan dihadapan hukum adalah penekanan tentang tidak adanya status hukum secara khusus bagi pejabat-pejabat negara, atau pejabat-pejabat lain. Dalam kasus kekerasaan yang dilakukan oleh penegak hukum sebagaimana disebutkan diatas, maka pelaku harus dihukum tidak sekedar dimasukkan dalam pelanggaran etik.
Banyak kasus kekerasan yang dialami seorang terperiksa dan pihak kepolisian kerap kali mengatakan bahwa sesama tahanan saling intimidasi dan saling pukul. Bila diperiksa pernyataan tersebut, seharusnya akan ditemukan permasalahan pelanggaran hukum baru, yaitu apakah pihak kepolisian melakukan pemerikasaan siapa tahanan yang melakukan kekerasan dan intimidasi tersebut? Apakah pihak kepolisian memberikan BAP baru atas kejahatan baru yang dilakukan seorang tahanan terhadap tahanan lain?
Bila hal diatas tidak dilakukan, maka aparat telah melakukan pembiaran atas suatu tindak pidana yang terjadi diruang yang seharusnya steril yaitu penjara. Pembiaran tersebut pada dasarnya adalah satu kejahatan yang harus dihukum dan diatur oleh kitab hukum pidana. Atau benar, bahwa pelaku utama dari kekerasan dan intimidasi terhadap tahanan tersebut pada dasarnya adalah aparat itu sendiri.
Situasi dan resonansi kekerasan demikian kerap kali terjadi dikantor polisi yang dilakukan oleh aparat terhadap seorang tersangka yang notabene rakyat.Kekerasan-kekerasan yang dialami mengakibatkan keretakan dalam jiwa seorang manusia yang tidak dibangun untuk menjadi milik kehidupannya sepenuhnya.
Bagaimanapun, cara-cara buruk dan pelanggaran hukum dalam negara hukum harus segera dihilangkan, pelaku-pelaku pelanggaran hukum dalam penegakan hukum harus segera diproses dengan jujur demi mempertahankan eksistensi bernegara dan aparat-aparat yang melakukan kekejaman dalam penegakan hukum adalah memperlakukan Panca-Sila sebagai sampah.