Ini Kisah nyata dari Sahabatku Dr. Felix, Str, yang saya kembangkan menjadi sebuah tulisan berikut ini;
Kemarin, Selasa 21 Januari 2024, dalam perjalanan pulang ke Jakarta, saya berdiri di tepi luar Peron 2 Stasiun Whoosh Padalarang. Saat menanti kereta, perhatian saya tertambat pada dua pemandangan kontras yang memerangkap saya dalam perenungan: di kiri, di seberang partisi kaca, tampak pemukiman warga yang padat dan kumuh. Jalanan beton yang terlihat kasar melambangkan gerak yang lambat, keterbatasan, dan keterbelakangan. Di kanan, dalam pagar besi dan kaca mahal, berdiri megah Stasiun Whoosh yang serba logam dan kaca, sebuah ikon modernisasi yang presisif dan terdigitalisasi.
Ini bukan sekadar dua sisi ruang yang berbeda, tetapi dua dunia yang saling bertolak belakang. Sebelah kiri adalah masa lalu yang tak pernah selesai, di mana keterbelakangan terpelihara dalam rutinitas kehidupan yang monoton. Sebelah kanan adalah masa depan yang menjanjikan kecepatan, efisiensi, dan kemudahan. Ironisnya, saya berdiri di antara keduanya, merasakan bagaimana cangkang keterbelakangan merengkuh saya, sementara modernitas melintas di depan mata tanpa benar-benar bisa saya jangkau.
Pemandangan itu absurd, seperti sebuah teater yang mempertontonkan paradoks pembangunan. Pada saat yang sama, teknologi canggih melaju dengan ambisi digitalisasi yang terukur, sementara di baliknya, rakyat yang tinggal di pemukiman kumuh masih berjuang dengan kebutuhan dasar. Bagaimana bisa dua realitas ini berdampingan tanpa menyentuh satu sama lain? Seolah ada tembok tak kasatmata yang memisahkan masa lalu dan masa depan, memaksa kita hidup dalam ketegangan di antara keduanya.
Ketika akhirnya moncong Whoosh dari Tegalluar memasuki peron, saya merasa ironi itu semakin nyata. Kereta super cepat itu, simbol ambisi besar bangsa untuk menjadi setara dengan negara-negara maju, justru memasuki stasiun dengan kecepatan yang melambat, hampir merayap. Seakan-akan, meskipun kita memiliki alat yang memungkinkan kita bergerak cepat, kita tetap tak mampu meninggalkan beban masa lalu yang menjerat kaki kita.
Saat itu, dorongan untuk meneriakkan “Ribakkon!”—sebuah seruan revolusi yang penuh gairah—muncul dari hati, tetapi suara saya terperangkap dalam cangkang keterbelakangan yang saya tinggali. Saya tak kuasa mengucapkannya, karena realitas di depan mata telah membuktikan bahwa percepatan pembangunan hanya menjadi ilusi jika tidak menyentuh inti persoalan: kesenjangan sosial dan ketidakadilan struktural.
Kecepatan Whoosh tidak lebih dari simbol, sebuah aspirasi yang belum menembus dinding nyata kehidupan masyarakat. Di luar sana, penduduk yang hidup dalam keterbatasan masih menanti janji perubahan yang terasa jauh dari jangkauan mereka. Peron 2 Stasiun Whoosh Padalarang menjadi panggung yang mempertemukan dua dunia: modernisasi yang bergerak cepat dan keterbelakangan yang stagnan. Di tengah keduanya, saya berdiri, terperangkap dalam absurditas kemajuan yang kosong.
Mungkin kita semua, pada dasarnya, adalah penumpang yang menunggu kereta di peron ini—bingung apakah kita sedang menuju masa depan yang lebih baik, atau hanya mengitari rel yang sama, tanpa pernah benar-benar bergerak maju.