FusilatNews – Dalam tata hukum Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat suci konstitusi. Termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, frasa itu bukan sekadar penghias mukadimah, melainkan perintah mutlak kepada siapa pun yang dipercaya mengelola negeri ini: pemerintah wajib menjadikan kecerdasan sebagai fondasi pembangunan bangsa. Tanpa kecerdasan, cita-cita kemerdekaan itu sendiri hanyalah mimpi kosong.
Di sisi lain, dalam pandangan agama, manusia menerima titah pertama dari Tuhan bukan untuk berperang atau berkuasa, melainkan: “Bacalah.” Ayat ini, yang membuka wahyu pertama kepada Nabi Muhammad, menggarisbawahi betapa membaca adalah akar peradaban. Membaca bukan sekadar melafalkan huruf, melainkan memahami, merenungi, dan bertindak berdasar ilmu.
Bung Karno memahami keduanya dengan tajam. Di dalam sel, di tengah himpitan zaman, dia membebaskan pikirannya melalui buku. Ia melahap literatur Eropa, menggali sejarah Nusantara, dan menyelami pikiran filsuf dunia. Dari pembacaannya lahir ide-ide besar: nasionalisme, marhaenisme, revolusi.
Begitu pula Bacharuddin Jusuf Habibie. Profesor teknik pesawat terbang itu menempuh jalan panjang membaca dan belajar, hingga mendobrak stigma bangsa terbelakang di pentas teknologi dunia. Buku, jurnal, rumus-rumus, semuanya ia tekuni seperti ibadah.
Mereka pintar bukan karena takdir semata, melainkan karena menghormati dua perintah agung itu: amanat konstitusi dan firman Tuhan.
Bandingkan dengan masa kini. Jokowi, yang lahir dari rahim rakyat biasa, justru seperti membelakangi tugas mulia itu. Ia sering mengaku tidak suka membaca laporan panjang. Ia bangga menyederhanakan kompleksitas menjadi sekadar “kerjaan di lapangan”. Ia lebih suka groundbreaking dan peresmian proyek dibanding membedah laporan akademik atau meresapi kritik cendekiawan. Wajar saja jika kebijakan yang lahir kerap serampangan: pembangunan tanpa kejelasan manfaat, keputusan tanpa kajian mendalam, dan pengelolaan negara yang tampak reaktif ketimbang strategis.
Pantas saja Bung Karno dan Habibie mengukir namanya dalam tinta emas bangsa, sementara Jokowi justru menggoreskan noda dalam sejarah. Karena di dunia yang diperintah oleh ilmu, buta aksara intelektual adalah malapetaka yang tak terampuni.
Bacalah, kata Tuhan. Mencerdaskan, kata konstitusi. Tapi jika pemimpinnya tak mau membaca, tak perlu heran bila bangsa ini terus tertatih.