Oleh : Damai Hari Lubis
Walau penulis selaku pengamat dalam artikel-artikel sebelumnya lebih banyak menyampaikan narasi berupa firasat—misalnya tentang kemungkinan upaya rekonsiliasi nasional yang datang dari Presiden Prabowo, selaku pemegang hak prerogatif dan diskresi politik-hukum tertinggi di republik ini, bahkan yang seolah juga diharapkan oleh Jokowi maupun para Jokowi lovers—tetap saja ke-12 orang terlapor dalam kasus “Jokowi Ijazah S-1 Palsu” mesti waspada.
Langkah paling penting adalah melakukan preparing bukti: mengumpulkan dan menyimpan secara sistematis berita, video, dan rekaman publikasi dari media-media besar seperti Tempo, Detik, hingga media online menengah ke bawah. Potongan video dari media televisi dan YouTube juga tak kalah penting, terutama yang sejak awal menyebut adanya “5 orang terlapor.” Tak boleh dilupakan pula menyimpan video Jokowi yang menegaskan bahwa dirinya “tidak menyebut nama-nama pihak terlapor.”
Kebutuhan bukti ini relevan secara hukum, khususnya terkait pemahaman asas delik aduan absolut, delik aduan relatif, dan delik umum. Para kuasa hukum serta para terlapor yang memiliki sertifikasi advokat harus menyadari pentingnya asas obscuri libelli agar tetap percaya diri menghadapi segala tuntutan yang mungkin muncul dari hasil penyelidikan dan penyidikan.
Bagi para terlapor, termasuk yang berprofesi sebagai jurnalis, sangat krusial untuk menyiapkan barang bukti berupa dokumen, surat, hingga sumber narasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Lebih jauh, mereka juga perlu memastikan bahwa para saksi dan ahli yang menjadi sumber narasi bersedia memberikan kesaksian di persidangan.
Idealnya, setelah seluruh perlengkapan hukum untuk pembelaan diri siap, maka jika status para terlapor ditingkatkan menjadi tersangka (TSK), segera ajukan permohonan praperadilan. Namun, jangan menyerahkan semua “senjata hukum” sekaligus di tahap praperadilan. Jika permohonan praperadilan ditolak, masih ada dasar-dasar hukum yang bisa dijadikan alat bukti eksepsi saat berstatus terdakwa (TDW). Dengan begitu, terdakwa tidak hanya mengulang bukti yang sama, melainkan tetap memiliki argumen hukum baru.
Kesadaran ini penting karena yurisdiksi hakim praperadilan dan majelis hakim persidangan berada “satu atap.” Maka, para terlapor—yang sejatinya adalah para aktivis pejuang dan merasa tidak bersalah sesuai asas legalitas maupun legal standing—tidak boleh kehilangan hak hukum mereka. Jangan sampai status TSK maupun TDW diterima begitu saja hanya karena mengikuti saran pihak-pihak dengan “jejak kepribadian dan tingkah polah banci politik” yang sekadar ingin tampil di pokok perkara.
Oleh : Damai Hari Lubis




















