Fusilatnews – Sebuah polling sederhana menanyakan pertanyaan yang cukup tajam: “Siapa Anggota DPR yang paling Anda benci?” Hasilnya pun mengejutkan dan sekaligus menjadi cermin bagi para wakil rakyat yang namanya tercantum di sana. Dari 810 suara yang masuk, peringkat teratas “kebencian” publik ditujukan kepada Sahroni (52,3%), diikuti oleh Eko (26,9%), Uya (17,7%), dan Nafa (3,1%).
Sekilas, hasil ini tampak seperti sekadar angka—tetapi bila direnungkan lebih jauh, ia adalah bentuk nyata dari persepsi rakyat terhadap performa, sikap, maupun perilaku para anggota dewan. Apa yang bisa dipelajari?
1. Popularitas Negatif dan Krisis Kepercayaan
Menjadi sorotan utama dalam polling kebencian bukanlah prestasi, melainkan sinyal alarm. Angka 52,3% untuk Sahroni menunjukkan ada jurang lebar antara harapan rakyat dan kenyataan yang ia tampilkan. Bukan semata soal kebijakan, melainkan juga gaya komunikasi, sikap di publik, hingga gestur yang ditangkap sebagai arogansi atau ketidakpedulian.
2. Transparansi dan Akuntabilitas sebagai Kunci
Eko dan Uya, meski tidak setinggi Sahroni, tetap mendapat porsi signifikan dalam daftar ini. Publik, dalam era keterbukaan informasi, tidak lagi hanya menilai dari hasil legislasi, tetapi juga integritas personal. Apakah wakil rakyat hadir di tengah konstituennya? Apakah mereka menyuarakan kepentingan rakyat atau justru larut dalam pusaran kepentingan elite?
3. Peringatan Awal bagi yang Masih “Disukai”
Menariknya, Nafa hanya mendapatkan 3,1% suara kebencian. Ini bisa ditafsirkan sebagai tanda masih adanya ruang apresiasi publik. Namun, angka rendah bukan berarti aman selamanya. Politik bersifat dinamis; satu langkah keliru dapat menggerus simpati. Oleh karena itu, menjaga konsistensi integritas adalah kunci agar tetap dipercaya.
4. Ketidaktersediaan Pilihan “Semua”
Yang lebih menarik, banyak komentar masuk menunjukkan kekecewaan kolektif: mereka tidak menyukai semua nama yang tercantum dalam polling. Artinya, ketidakpuasan publik bukan hanya soal individu tertentu, melainkan cermin dari perasaan umum bahwa para anggota dewan jauh dari harapan rakyat. Tidak adanya opsi “semua” menjadi penanda bahwa rakyat ingin menyampaikan pesan lebih keras: DPR secara keseluruhan sedang kehilangan legitimasi moral di mata publik.
Penutup
Polling ini, walaupun tidak resmi dan jumlah respondennya terbatas, mengandung pesan mendalam: ada perasaan “tidak terwakili” yang kuat dari rakyat terhadap anggota dewan. Saat kebencian lebih banyak diperbincangkan ketimbang prestasi, itu artinya DPR tengah mengalami krisis representasi.
Para anggota DPR seharusnya membaca hasil polling ini bukan dengan sikap defensif, melainkan sebagai bahan evaluasi diri. Rakyat menaruh harapan besar, tetapi juga tidak segan memberikan penilaian keras bila dikecewakan. Sejatinya, kebencian publik bukanlah akhir, melainkan undangan untuk berbenah.























