Fusilatnews – Presiden Prabowo Subianto baru saja memanggil enam belas ormas Islam ke Hambalang. Ia ingin menyamakan persepsi, meredakan keresahan, dan mengajak semua pihak menjaga suasana tetap tenang. Sepintas, langkah ini terlihat bijak. Namun, jangan-jangan Prabowo sebenarnya tidak bisa membaca situasi yang sedang berkembang di luar tembok Hambalang.
Bangsa ini punya sejarah. Di ujung kekuasaannya, Soeharto pun dikepung krisis dan kehilangan legitimasi. Tokoh-tokoh Islam datang bukan untuk sekadar mendengar wejangan atau menyerukan tenang, melainkan menyampaikan pesan yang paling jelas: Pak Harto, sudah waktunya mundur. Ketika itu, dialog bukan lagi jawaban. Realitas politik dan desakan publik jauh lebih kuat daripada sekadar silaturahmi di ruang berpendingin udara.
Prabowo seolah sedang mengulangi pola lama: mengandalkan simbol-simbol legitimasi moral untuk meredam gelombang keresahan rakyat. Dengan menghadirkan NU, Muhammadiyah, MUI, Persis, DDII, dan lainnya, ia berharap umat Islam bisa diarahkan untuk tidak turun ke jalan, untuk tetap diam, untuk percaya pada kata-kata manis pemerintah. Tetapi apakah rakyat masih bisa dibungkam dengan fatwa tenang-tenang saja?
Kenyataannya, keresahan publik bukan karena isu sektarian atau provokasi belaka. Ia lahir dari sesuatu yang lebih dalam: kegagalan elite menunaikan janji, ketimpangan ekonomi yang semakin tajam, hukum yang tumpul ke atas tapi tajam ke bawah, serta politik transaksional yang dipertontonkan terang-terangan. Itulah yang membuat rakyat muak. Ormas bisa mengimbau damai, tetapi ormas tidak bisa menghapus lapar, pengangguran, ketidakadilan, dan arogansi kekuasaan.
Jangan-jangan Prabowo terjebak pada ilusi yang sama dengan Soeharto: percaya bahwa dengan mengumpulkan tokoh-tokoh besar, maka badai bisa ditahan. Padahal sejarah membuktikan, begitu suara rakyat membesar, semua konsensus elite bisa runtuh dalam hitungan hari.
Pertemuan Hambalang hanya akan menjadi catatan kaki bila Prabowo tidak segera mengubah cara pandang. Ia harus berani mendengar suara di luar lingkaran elite, suara rakyat yang terluka dan dikhianati. Jika tidak, ia sedang menapaki jalan yang pernah ditempuh Soeharto: jalan kejatuhan yang berawal dari ketidakmampuan membaca tanda-tanda zaman.























