Jakarta, Fusilatnews. – Anggota Komisi IV DPR RI I Made Urip mempertanyakan langkah pemerintah yang tetap mengimpor beras meskipun Indonesia memasuki musim panen raya sejak Maret lalu.
“Pemerintah bak menghadapi buah Simalakama. Dalam negeri panen raya, tapi impor beras tak bisa dihentikan. Kok bisa?” kata MU, panggilan akrab I Made Urip, kepada Fusilatnews.com usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPR RI dengan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/6/2024).
Dalam RDP itu, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengaku tak bisa menyetop impor beras, karena produksi beras domestik tidak mencukupi meskipun panen raya sudah tiba sejak Maret lalu.
Di sisi lain, Dirut Perum Bulog Bayu Krisnamurthi mengaku diperintahkan Presiden Joko Widodo agar “standby” untuk tetap melakukan impor beras.
MU menyesalkan mengapa pemerintah tidak melakukan antisipasi dini terkait anomali cuaca yang memicu anjloknya produksi beras nasional. “Mungkin karena mengandalkan impor itu, sehingga pemerintah tak begitu ‘concern’ untuk melakukan antisipasi,” sindir MU yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan.
Pemerintah pun dinilai MU gagal melakukan antisipasi sehingga harga gabah hasil panen petani anjlok di tengah panen raya.
Wakil rakyat asal Bali ini kemudian merujuk contoh anjloknya harga gabah di tingkat petani yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Di Kabupaten Cirebon, Jabar, misalnya, harga gabah di masa panen rendeng (penghujan) 2023/2024 di tingkat petani anjlok, di mana
Harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani saat ini di kisaran Rp5.400–Rp5.500 per kilogram untuk kualitas satu. “Gabah tersebut dipanen dengan menggunakan mesin combine,” cetusnya.
Sedangkan GKP kualitas dua atau yang dipanen secara manual menggunakan grabagan, kata MU, rata-rata dihargai Rp5.200–Rp5.300 per kg.
“Harga saat ini jauh lebih rendah dibandingkan sebelumnya, seperti saat Februari 2024, harga GKP di Kabupaten Cirebon mencapai Rp8.500 per kilogram,” tukasnya merujuk data yang ia terima dari petani Cirebon.
MU tak menampik harga gabah saat ini memang masih di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang mencapai Rp5.000 per kg. Namun, menurut MU, HPP tersebut belum berpihak kepada petani karena besarnya biaya tanam.
Selama musim tanam rendeng 2023/2024, lanjut MU, sejumlah petani harus melakukan tanam ulang karena pengaruh cuaca ekstrem. ‘Karena itu, petani harus mengeluarkan biaya ekstra yang besar untuk pemupukan, pembelian obat-obatan maupun upah pekerja. Belum lagi tak semua petani bisa mendapatkan pupuk subsidi,” paparnya.
‘’Dengan harga gabah yang sekarang hanya di kisaran Rp5.200–Rp5.500 per kg, hasil yang didapat petani pas-pasan. Apalagi bagi petani penggarap yang menyewa lahan,’’ lanjutnya.
Sebaliknya, kata MU, impor beras memberikan keuntungan bagi para pemburu rente. “Mungkin karena itulah maka bisa jadi dikondisikan bagaimana agar Indonesia tetap impor beras meskipun ada panen raya,” terangnya.
Berdasarkan data Survei Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS), kata MU, total produksi beras pada periode Januari-Juli 2024 mencapai 18,64 juta ton. Angka tersebut lebih rendah 2,64 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Bahkan dibandingkan dengan jumlah produksi pada kuartal II-2024, diproyeksikan masih lebih rendah.
Berdasarkan data Bulog, realisasi pengadaan beras nasional dari luar negeri sebesar 1,9 juta ton. Sementara pengadaan beras dalam negeri sebesar 582 ribu ton Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan 101 ribu ton beras komersial.