Fusilatnews – Sejarah dan literatur selalu menyisakan cermin bagi para pemimpin. Dari Shakespeare hingga catatan politik modern, kita belajar bahwa pemimpin tidak hanya ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan juga oleh lingkaran di sekitarnya. Ada pemimpin yang runtuh karena ambisi pribadi, ada pula yang terjerembab oleh manipulasi, dan ada yang justru lahir besar karena keberanian memimpin dengan jujur.
Buku Power Voice pada tahun 2000 mengingatkan tentang lima jenis pemimpin. Di antaranya ada pemimpin yang hancur karena mewariskan legitimasi kekuasaan kepada orang-orang terdekat—anak, kerabat, keluarga—yang sesungguhnya tidak kompeten. Mereka memilih jalur dinasti, bukan meritokrasi, dan menganggap darah lebih penting daripada kapasitas.
Indonesia hari ini, suka atau tidak, sedang berada dalam pusaran model kepemimpinan itu. Presiden Jokowi dengan terbuka membangun dinasti politik: Gibran dijadikan wakil presiden, Kaesang memimpin partai, Bobby disiapkan menjadi gubernur. Politik keluarga ini seakan menegaskan bahwa republik yang diperjuangkan dengan darah rakyat berubah menjadi kerajaan kecil dengan nama besar di puncaknya.
Prabowo kini berdiri di tengah pusaran itu. Ia berpasangan dengan Gibran, anak presiden, dalam sebuah konfigurasi politik yang jelas-jelas mencerminkan keberlanjutan dinasti Jokowi. Pertanyaannya, apakah Prabowo rela hanya menjadi “raja peralihan,” pemimpin formal yang sesungguhnya terikat oleh legitimasi keluarga Jokowi? Jika demikian, ia hanya akan menjadi contoh dari pemimpin yang hancur karena memberi ruang pada ketidakkompetenan.
Lalu ada contoh lain: Macbeth dan Othello. Dua tokoh Shakespeare ini bukan hanya kisah tragedi, tetapi peringatan. Macbeth yang larut dalam bisikan ambisi kekuasaan, Othello yang hancur oleh manipulasi lingkaran dekat. Keduanya mengajarkan bahwa pemimpin yang tidak mampu memilah antara kepentingan rakyat dan kepentingan elite di sekitarnya akan berakhir tragis. Dan hari ini, Prabowo pun dikelilingi oleh lingkaran pembisik—para oligark, para oportunis politik, para pewaris dinasti—yang bisa saja membuatnya lebih mirip Macbeth atau Othello ketimbang pemimpin sejati.
Namun sejarah juga memberi jalan lain: King Henry V. Ia bukan pemimpin besar karena keturunan, bukan karena propaganda, melainkan karena keberanian memimpin dari garis depan. Ia menjaga tim kecilnya, peduli pada kanan dan kirinya, dan bergerak linier, tidak kehilangan arah. Henry V adalah simbol pemimpin yang berhasil karena setia pada rakyatnya.
Maka sekali lagi, pertanyaan itu relevan: Pak Prabowo, mau jadi yang mana?
Apakah menjadi Macbeth atau Othello yang larut dalam bisikan dan manipulasi? Apakah menjadi pemimpin dinasti yang sekadar mengukuhkan legitimasi anak presiden yang belum teruji? Ataukah memilih jalan sulit: menjadi Henry V yang berani memimpin dengan kompas moral, bukan dengan arahan pembisik atau tekanan dinasti?
Rakyat Indonesia sedang menunggu. Sejarah tidak akan menulis pemimpin setengah hati. Nama Prabowo akan dikenang entah sebagai pemimpin yang gagal—sekadar perpanjangan tangan dinasti—atau sebagai pemimpin yang berhasil mengambil jarak dari bayang-bayang Jokowi, berdiri di sisi rakyat, dan memimpin dengan keberanian yang sejati.
Pilihan itu bukan di masa depan. Pilihan itu ada sekarang.






















